Planktonologi
Rabu, Agustus 05, 2009 | Author: ksatria_bontot





COPEPODA


I. Pendahuluan

Zooplankton merupakan plankton hewani yang menjadi konsumen utama fitoplankton (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Selanjutnya dinyatakan meskipun jumlah, jenis, dan kepadatannya lebih rendah dari fitoplankton, zooplankton membentuk kelompok yang lebih beranekaragam. Setidak-tidaknya ada sembilan filum yang mewakili kelompok zooplankton ini dan ukurannya sangat beragam, dari yang sangat kecil atau renik sampai yang garis tengahnya lebih dari 1 mikron.

Menurut Basmi (1997), zooplankton dapat diklasifikasikan berdasarkan lama hidupnya sebagai plankton. Yang pertama adalah holoplankton (plankton permanen) yakni organisme yang hidup sebagai plankton selama hidupnya. Yang kedua adalah meroplankton (plankton temporer) yakni organisme yang hidup sebagai plankton hanya sebagian dari siklus hidupnya, seperti selama masa telur atau fase larva.

Bagian terbesar dari zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustacea. Selain Copepoda yang sangat dominan, dalam krustasea holoplanktonik juga terdapat anggota-anggota ordo Cladocera, subklas Ostracoda, ordo Mysidacea, ordo Amphipoda, ordo Euphausiacea, dan ordo Decapoda. Kebanyakan krustasea yang disebutkan ini adalah hewan-hewan holoplankton yang kecil. Zooplankton makan dengan cara menyaring fitoplankton dan atau hewan-hewan kecil dari air (Nybakken, 1988).

Diantara mikrozooplankton yang di laut, grup-grup penting di dalam jaring makanan adalah dari dinoflagellata, cilliata dan nauplius copepoda. Hasil penelitian Beers dan Stewart (1969) dalam Omori dan Ikada (1976) terhadap mikrozooplankton di perairan lepas pantai San Diego pada kolom air 100 m di bawah permukaan, didapatkan bahwa 60% dari total jumlah individu adalah cilliata, yang umumnya berukuran ± 103 µm didominasi (lebih dari 50%) oleh potnauplius copepoda.

Dari individu net plankton yang terdapat pada sebagian perairan adalah jenis-jenis dari copepoda. Menurut Basmi (1997), copepoda net plankton umumnya adalah taksa yang melimpah sepanjang tahun lebih dari 80%, tetapi di perairan pantai dan inlet-jumlah individu cepat bertambah jumlahnya yang reproduksinya dengan cara partenogenesis, juga larva crustacea decapoda pada musim-musim tertentu amat padat.

Copepoda adalah grup crustacea kecil yang dapat ditemui di laut dan hampir di semua habitat air tawar dan mereka membentuk sumber terbesar protein di samudra. Banyak spesies adalah plankton, tetapi banyak juga spesies benthos dan beberapa spesies kontinental dapat hidup di habitat limno-terestrial dan lainnya di tempat terestrial basah, seperti rawa-rawa. Copepoda merupakan kelompok zooplankton yang memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem perairan. Copepoda memiliki peran penting pada rantai makanan di lautan karena peranannya sebagai sumber makanan utama bagi karnivor, termasuk jenis-jenis ikan untuk kepentingan komersial (Pechenik, 2000). Dalam industri pembenihan ikan laut dewasa ini, copepoda mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk larva ikan. Copepoda cocok sebagai pakan larva ikan karena selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi juga karena ukuran tubuh yang bervariasi sehingga sesuai tingkat perkembangan larva ikan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa copepoda dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut yang lebih cepat dibandingkan rotifer dan Artemia (Lavens dan Sorgelos, 1996).

Copepoda kaya akan protein, lemak, asam amino esensial yang dapat mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan. Keunggulan copepoda juga telah diakui oleh beberapa peneliti lain, karena kandungan DHA-nya yang tinggi, dapat menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan larva. Copepoda juga mempunyai kandungan lemak polar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Artemia sehingga dapat menghasilkan pigmentasi yang lebih baik bagi larva ikan (Mcevoy dkk., 1998 dalam Umar, 2002). Beberapa jenis Copepoda telah dikembangkan untuk dibudidayakan khususnya di manca negara. Copepoda tersebut termasuk kelompok harpacticoid dan calanoid. Calanoida merupakan copepoda yang jumlahnya paling banyak di lingkungan pelagis baik di laut maupun air tawar (Bradford-Grieve, 2002). Perairan Indonesia kaya akan kehadiran berbagai jenis copepoda, memiliki peluang besar untuk memilih jenis pakan hidup yang unggul sebagai pakan alternatif atau pengganti Artemia yang saat ini harganya kian melambung.

Menurut Sutomo (2003), copepoda laut jenis Tigriopus brevicornis, dapat hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas yakni mulai dari 10 sampai 40 ppt, namun pada salinitas 10 ppt tidak didapatkan copepoda yang bertelur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa copepoda dapat dikultur di air laut dengan salinitas 25-30 ppt (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Menurut Anindiastuti dkk. (2002), untuk mengkultur copepoda pada skala laboratorium sebaiknya menggunakan air laut yang steril bersalinitas 25 ppt. Sementara itu copepoda di perairan umum dapat hidup pada salinitas antara 26,50 dan 35,67 ppt (Levinton, 1982 dalam Umar, 2002). Dengan demikian, salinitas yang optimum untuk perkembangan copepoda laut belum diketahui secara pasti.

Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd, 1990 dalam Faidar, 2005). Menurut Hutabarat dan Evans (1984), salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Salinitas diduga berpengaruh terhadap perkembangan copepoda, makanya perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Selain itu lebih dari 2000 jenis Copepoda dilaporkan hidup sebagai parasit. Biota tersebut biasanya berasosiasi dengan spong, Coelenterata, cacing-cacing Polychaeta, Moluska, Echinodermata dan vertebrata air. Menurut MC LUGHLIN (1980), Copepoda yang hidupnya sebagai parasit ada 4 bangsa yaitu Notodelphyoida, Monstrilloida, Siphonostomatoida dan Poecilostomatoida. Bentuk badan dari parasit Copepoda sangat bervariasi.

II. Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Secara taksonomi copepoda termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthtropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Maxillopoda

Subkelas : Copepoda

Superordo : Gymnoplea (Giesbrecht 1882)

Ordo : Calanoida (Sars 1903)

Sumber : http://www.uni-oldenburg.de/monoculus

Morfologi dari kelompok ini, umunya pipih memanjang, kaki pendek Bentuk dewasa mempunyai sebuah alat penginderaan pertama yaitu antena yang tersusun dari banyak segmen. Sedangkan antena kedua berfungsi untuk memegang. Pada daerah oral tubuh, dari beberapa kelompok yang termasuk parasit Copepoda termodifikasi sebagai mulut yang berbentuk pipa (mouth-tube) yang berfungsi untuk menyedot makanan, dengan mandibula berbentuk seperti parutan dibagian dalamnya.

Adaptasi secara morfologis yang terjadi pada parasite Copepoda berupa tambahan Cephalothorax yang kompleks pipih memanjang dan bagian ventral cembung dengan sebuah lempeng penghisap (sucking disc). Selain itu ada yang mempunyai struktur seperti jangkar, berfungsi untuk menjaga parasit agar tetap menempel pada hospes selama hidupnya. Contohnya pada Lernaecopodidae dan bangsa siphonostomatoida.

Copepoda merupakan krustacea yang sangat banyak dijumpai diantara fitoplankton dan pada tingkat tropik yang tinggi pada ekosisitem. Copepoda dewasa berukuran antara 1 dan 5 mm. Tubuh copepoda berbentuk silindrikonikal, dimana anterior lebih lebar. Bagian depan meliputi 2 bagian yakni cephalotoraks (kepala dengan toraks dan segmen toraks ke enam) dan abdomen yang lebih kecil dibandingkan cephalotoraks. Pada bagian kepala memiliki mata di bagian tengah dan antenna yang pada umumnya sangat panjang. Copepoda yang bersifat planktonik pada umumnya suspension feeders (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

III. Tiga Ordo penting pada Copepoda

a) Harpaticoida

Copepoda yang sangat kecil, dengan antenna yang pendek

Abdomen tidak dapat dibedakan dengan toraks.

Panjangnya tidak lebih dari1mm, sebagian besar spesies berukuran lebih kecil lagi.

b) Calanoida

Antena panjang (sedikit sama panjangnya dengan abdomen, dan memiliki 16-25 segmen).

Abdomen dimulai dari toraks.

Panjangnya mencapai 1½-2½ mm ketika mencapai dewasa.

c) Cyclopida

Antena lebih pendek daripada Calanoida.

Abdomen ditandai dari toraks, kecuali pada Copepoda parasit.

Panjangnya sekitar ½-3 mm.

IV. Siklus hidup


Copepoda jantan pada umumnya lebih kecil dibandingkan copepoda betina. Selama melakukan reproduksi atau kopulasi, organ jantan berhubungan dengan betina dengan adanya peranan antena, dan meletakkan spermatopora pada bukaan seminal, yang dilekatkan oleh lem semen khusus. Telur-telur umumnya lebih dekat ke bagian kantung telur (ovisac) . Telur - telur ditetaskan sebagai nauplii dan setelah melewati 5-6 fase nauplii (molting), larva akan menjadi copepodit. Setelah copepodit kelima, akan molting lagi menjadi lebih dewasa. Sebagian besar Copepoda mengalami tingkatan hidup bebas selama pergantian kulit (molting) sampai tingkat infektif yang belum dewasa. Perkembangan ini membutuhkan waktu tidak kurang dari satu minggu hingga satu tahun, dan kehidupan copepoda berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Dalam satu siklus hidup copepoda memerlukan waktu selama kurang lebih 6-7 hari (Anindiastuti dkk., 2002).

Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup, copepoda akan memproduksi cangkang atau telur dormant (istirahat) seperti halnya kista. Hal ini juga menyebabkan tingkat survival berlangsung dengan baik walapun kondisi lingkungan tidak mendukung contohnya pada suhu dingin (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

V. Kandungan nutrisi

Pada umumnya kualitas nutrisi copepoda dapat diterima dengan baik oleh larva-larva ikan laut, dan dipercaya lebih memiliki kualitas nutrisi yang tinggi dibandingkan Artemia. Copepoda memiliki kandungan protein yang tinggi (antara 44 dan 52%) dan struktur asam amino yang baik kecuali metionin dan histidin. Komposisi asam lemak dari copepoda bervariasi tergantung pakan yang diberikan selama kegiatan budidaya (Lavens dan Sorgeloos, 1996)

Fase nauplius:

· 3,5% EPA; 9% DHA; 15% HUFA(n-3)

Fase dewasa:

· Pakan Dunaliella(6% EPA; 17% DHA)

· Pakan Rhodomonas (18% EPA; 32% DHA)

Copepoda (copepodit dan copepoda dewasa) juga dipercaya memiliki level enzim pencernaan yang lebih tinggi dan berperan penting untuk menunjang kebutuhan nutrisi larva. Padahal pada fase awal dari larva ikan-ikan laut belum memiliki perkembangan pada sistem pencernaan dan yang lebih dipercaya berperan hanyalah cadangan makanan exogenous (pakan dari luar) sebagai cadangan makanan alami untuk organisme. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pederson (1984 dalam Lavens dan Sorgeloos, 1996), yang menguji pencernaan pada awal pemeliharaan larva, dan ditemukan bahwa copepoda lebih cepat tercerna dan cepat melewati usus serta lebih bagus tercerna dibandingkan Artemia.

VI. Karakteristik habitat

Copepoda jenis Tigriopus brevicornis (merupakan jenis copepoda yang hidup di air laut), dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas yakni 10-40 ppt. Pada salinitas 10 ppt, proses pertumbuhan dan reproduksi copepoda tersebut terhambat dan mortalitas cukup tinggi pada tahap awal adaptasi. Proses penghambatan tersebut disebabkan adanya proses osmoregulasi copepoda terhadap salinitas baik salinitas rendah maupun tinggi. Pada salinitas 20 dan 30 ppt, memperlihatkan pertumbuhan copepoda yang cukup baik, tetapi salinitas yang paling baik untuk tumbuh dan berkembang adalah 30 ppt (Sutomo, 2003). Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996), salinitas yang layak bagi pertumbuhan copepoda dalam kegiatan budidaya adalah 35 ppt, tetapi mampu mentolerir salinitas antara 15 dan 70 ppt. Sejalan dengan pendapat Marcus dan Wilcox (2007), bahwa salinitas yang sesuai untuk perkembangan dan pertumbuhan copepoda 35 ppt.

Copepoda tidak mampu mentolerir perubahan suhu lingkungan yang ekstrim tetapi mampu hidup pada kondisi yang intensif antara 17 dan 30ºC, dan suhu yang optimal untuk tumbuh adalah berkisar antara 16 dan 18ºC. Media kultur yang baik bagi copepoda pada skala laboratorium adalah air laut steril yang bersalinitas 25 ppt dengan suhu ruangan 25ºC dan pH 8,0 (Anindiastuti dkk., 2002). Menurut Lavens dkk (1991), stok kultur copepoda sebaiknya dipelihara pada air laut yang bersalinitas 28 ppt dengan suhu antara 20 dan 21ºC pada ruangan yang terkontrol.

Menurut Uye (1980 dalam Lee dkk., 2005) bahwa masa hidup copepoda (Acartia clausa) yang menggunakan lumpur sebagai sedimen mencapai sekitar 100 sampai 165 hari dengan suhu 5ºC dan tanpa sedimen dengan suhu 20ºC, masa hidupnya hanya sekitar 70 sampai 75 hari.

VII. Kultur Copepoda

a. Kelebihan Copepoda

Kandungan protein yang tinggi(44-52%)

Kandungan asam amino yang tinggi :

- Meningkatkan daya reproduksi induk, mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan.

- Kandungan EFA (Essential fatty acid), DHA , serta (n-3) HUFA (highly unsaturated fatty acid) sangat tinggi pada tahap nauplii →dipengaruhi juga pada pakan yang diberi

- Menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan yang lebih baik bagi larva.

Lebih mudah untuk dicerna dibanding Artemia

Dapat didistribusikan dalam berbagai tahap hidup (nauplii atau copepodit) sesuai kebutuhan

b. Kekurangan Copepoda

Sulit untuk diproduksi secara masal → terkait dengan siklus hidup

VIII. Gambar Variasi Bentuk Copepoda

Waduk Cirata
Selasa, Agustus 04, 2009 | Author: ksatria_bontot

Pengelolaan Waduk Cirata

Sejarah singkat

Waduk Cirata merupakan salah satu danau buatan (man made lake) yang terdapat di Indonesia. Waduk yang dibangun dengan cara membendung sungai Citarum serta mengakibatkan terendamnya lahan pertanian dan rumah penduduk seluas ± 6.200 hektare, menjadikan perubahan ekosistem dari ekosistem daratan serta ekosistem perairan mengalir (lentic) menjadi ekosistem perairan tergenang (lotic) dengan volume air maksimum sebanyak ± 2165 juta meter kubik. Pembangunan Waduk dengan luas 43.777,6 ha yang terdiri dari 37.577,6 ha wilayah daratan dan 6.200 ha wilayah perairan direalisasikan 19 Mei 1984. Melalui serangkaian prosedur, warga puluhan desa di Cianjur, Purwakarta, dan Bandung harus pergi meninggalkan tanah kelahiran. Pada 1 September 1987, desa-desa yang terkena proyek waduk mulai terhapus dari peta saat air Sungai Citarum dan Cisokan mulai menggenangi Cirata. Sebanyak ± 6.335 keluarga harus merelakan tanah kelahiran mereka menjadi genangan air. Terdapat pula ± 3.766 keluarga lain yang terpengaruh proyek. Warga yang terpengaruh langsung dan tidak langsung itu sebagian besar memilih kegiatan ekonomi baru. Sebagian kecil ikut transmigrasi dan kegiatan ekonomi terarah. Perubahan ekosistem tersebut membawa banyak perubahan dalam kehidupan penduduk yang terkena dampak proyek pembangunan waduk. Genangan waduk tersebut tersebar di 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Kabupaten Bandung. Genangan air terluas terdapat di Kabupaten Cianjur.

Pada awalnya pembangunan waduk Cirata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa-Bali, namun seiring berjalannya waktu kegiatan perekonomian baru mulai tumbuh hingga saat ini. Berkat adanya proyek pembangunan 3 waduk salah satunya Cirata yang multifungsi, masyarakat luas dapat merasakan manfaat sungai citarum yang berhulu digunung wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di Laut Jawa Kabupaten Karawang setelah melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Potensi sumber daya air yang demikian besar di Sungai Citarum telah memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan warga Jawa Barat termasuk DKI Jakarta dan Indonesia pada umumnya melalui sumber daya listrik yang dihasilkan dari 3 PLTA yang salah satunya PLTA waduk Cirata.

Pengelolaan waduk Cirata

Ø Permasalahan yang timbul

Krisis ekonomi global yang melanda negara-negara didunia membuat pemerintah Indonesia berpikir keras dalam mencari sumber-sumber pemasukan negara. Pencarian sumber-sumber penerimaan negara di atas salah satunya adalah program optimalisasi sumber daya lahan, baik lahan daratan atau perairan. Upaya optimalisasi sumber daya perairan terus digalakkan mengingat bahwa Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang kaya dan potensial. Melalui Direktorat Jenderal Perikanan, telah dicanangkan Gema Protekan 2003 dalam rangka meningkatkan perolehan pendapatan negara guna mengatasi krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Dalam rangka mendukung pelaksanaan program ini, teknologi keramba jaring apung memiliki prospek yang cerah untuk peningkatan produksi ikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Teknologi budidaya jaring apung sudah mulai diaplikasikan di waduk Cirata pada tahun 1986. Tujuan awal pengembangan jaring apung di waduk Cirata adalah memberikan lapangan kerja baru bagi penduduk yang terkena proyek pembangunan PLTA tersebut. Perkembangan jumlah keramba jaring apung pada tahun 1999 di waduk Cirata (28.739 unit) sudah melebihi dari tingkat yang direkomendasikan oleh UPTD Kabupaten Cianjur (6200 unit).

Perkembangan ini menggambarkan akan beberapa hal diantaranya adalah :

a) Tingginya antusias masyarakat untuk mengelola keramba jaring apung,

b) Tingginya lapangan kerja yang tersedia bagi usaha ini,

c) Semakin beratnya daya dukung waduk dan lingkungan dan

d) Dalam jangka panjang dikhawatirkan nilai guna waduk menjadi menurun dan usaha perikanan tidak berjalan dalam jangka panjang.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa usaha keramba jaring apung di waduk Cirata sudah tidak layak lagi baik secara lingkungan maupun sosial. Penggunaan waduk dengan jumlah keramba jaring apung yang melebihi batas yang direkomendasikan (telah melebihi daya dukung waduk dan kelestarian lingkungan) merupakan salah satu penyebab permasalahan yang muncul didalam usaha KJA pada waduk Cirata. Terus bertambahnya KJA diwaduk Cirata menyebabkan Penurunan kualitas air yang akan memicu pertumbuhan Virus, Bakteri dan Blooming plankton melalui proses eutrofikasi badan air. Sisa - sisa pakan berlebih dari setiap KJA juga dapat mengakibatkan sedimentasi pada dasar waduk atau dengan kata lain dapat dikatakan faktor yang memperpendek usia waduk.

Kematian massal yang sempat melanda dan melumpuhkan usaha budidaya KJA waduk Cirata pada tahun 2002-2005 akibat serangan Koi Virus Herpes (KHV) yang menyebar dari Pembudidaya ikan Koi. Hal ini merupakan sebuah gambaran bahwa kondisi waduk sudah mengalami kerusakan, Penurunan Kualitas air Menyebabkan daya tahan ikan menurun sehingga lebih mudah terserang penyakit. Umumnya pada perairan-perairan yang dalam dan arusnya relatif tenang sering ditemukan adanya stratifikasi suhu, mulai dari lapisan suhu yang rendah sampai lapisan suhu yang agak tinggi. Apabila pada bagian permukaan terjadi penurunan suhu yang mendadak, suhu air pun praktis turun sampai di kedalaman tertentu. Pada situasi demikian terjadi pembalikan massa air, yaitu bagian atas bergerak ke bawah dan bagian bawah naik ke permukaan. Kondisi ini semakin dipercepat apabila disertai datangnya angin. Hal ini sempat terjadi pada tahun 2002 keatas. Proses pembalikan masa air itulah yang sering disebut arus balik atau umbalan. Segala nutrien yang membahayakan, seperti NH3, H2S sebagai hasil penguraian dari sisa-sisa pakan dan kotoran yang mengendap akan turut terangkat ke permukaan, membentuk umbalan air berwarna hitam pekat, berbau serta meracuni ikan-ikan budidaya. Pembalikan massa air umumnya terjadi pada saat memasuki awal musim penghujan.

Bukan hanya itu saja, rusaknya lingkungan sekitar DAS Citarum juga membawa dampak buruk terhadap kualitas air waduk Cirata. Penebangan hutan di bagian hulu atau alih fungsi hutan gunung wayang menjadi lahan pertanian serta meningkatnya buangan limbah industri dan rumah tangga semakin memperparah kondisi waduk Cirata. Tingginya intensitas limbah logam berat industri yang masuk ke waduk Cirata melalui DAS Citarum, sempat menjadi penyebab kematian massal ikan-ikan budidaya di waduk Cirata. Limbah logam berat yang masuk ke waduk juga mengakibatkan peningkatan korosi laju turbin PLTA sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan turbin. Datangnya musim melaut, tingkat kesukaan masyarakat rendah dan mahalnya harga pakan menjadi salah satu kendala yang sering dihadapi oleh pembudidaya.

keindahan panorama alam waduk Cirata menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mengembangkan potensi pariwisata selain potensi perikanan yang dimiliki. Pembangunan fasilitas penunjang dan pertunjukan kesenian tradisional maupun modern diupayakan untuk menambah daya tarik wisatawan.

Ø Berbagai upaya yang dilakukan menghadapi masalah yang terjadi

Kegiatan budidaya di waduk Cirata akan terus di upayakan karena waduk Cirata merupakan salah satu daerah produksi ikan-ikan air tawar, sekitar 30 % ikan - ikan air tawar di wilayah Jawa Barat berasal dari waduk Cirata. Hingga saat ini kematian massal belum merupakan masalah yang besar, walaupun angka kematian massal meningkat setiap tahunnya. Peningkatan angka kematian massal masih berbanding lurus dengan keuntungan sehingga pembudidaya masih tetap mendapat keuntungan.

Selain kegiatan budidaya di waduk Cirata juga terdapat kegiatan perikanan tangkap. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh penduduk yang tidak memiliki modal membangun KJA, untuk menjaga keseimbangan ekosistem waduk akibat kegiatan penangkapan dan sebagai kontrol terhadap kualitas air dilakukan restocking menggunakan ikan grass carp, oreochromis niloticus dan mola. Kegiatan penangkapan hanya boleh dilakukan dengan menggunakan jaring dengan mesh size > 4 Inc.

Tidak hanya melakukan restocking, pemerintah melalui UPTD perikanan memberikan Penyuluhan dan pelatihan teknik budidaya kepada pembudidaya. Bersama kelompok tani (Perpic / Persatuan petambak ikan Cianjur) membuat forum mengenai masalah yang sedang marak dalam kegiatan budidaya KJA di waduk Cirata seperti : penurunan harga jual atau kematian massal. kegiatan monitoring air setiap 3 bulan sekali yang dilakukan BPWC (Badan Pengelola Waduk Cirata).

Pada umumnya kontruksi KJA menggunakan rangka besi, dengan drum sebagai pelampung. Namun ada beberapa KJA yang mengganti drum dengan tumpukan – tumpukan stereofoam, dikarenakan mahalnya harga drum besi. Luasan KJA 1 petak = 7x7 meter dengan luas jaring 200 meter kedalaman 7 meter. Jaring terdiri dari 2 lapisan hal ini ditujukan untuk mengurangi pengendapan pakan terbuang. Drum yang paling bagus digunakan sebagai pelampung KJA, yaitu drum bekas oli karena tidak mudah rusak. Setiap 2 tahun sekali dilakukan perbaikan jaring dan pengecatan drum.

Jaring yang digunakan model jaring kolor yang memiliki 2 lapisan, pada lapisan pertama atau atas diisi oleh ikan mas kemudian dilapisan kedua diisi oleh ikan nila. Ketika panen tiba pembudidaya ada yang memasarkan produk sendiri atau bandar datang langsung.

Ø Pengelolaan waduk Cirata dan waduk Darma

Pengelolaan yang dilakukan di waduk Cirata tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di waduk darma. Fungsi kedua waduk pun tidak jauh berbeda hanya saja waduk darma tidak digunakan untuk PLTA. Pola budidaya perikanan yang diterapkan juga tidak jauh berbeda sama-sama menggunakan pola jaring terapung.

Walaupun dari pengelolaan dan fungsi hampir banyak kesamaan tapi budidaya perikanan di waduk darma tidak seperti budidaya perikanan di Cirata yang tidak bergantung pada musim. Saat musim kemarau tiba budidaya ikan di waduk darma biasanya dihentikan (Produksi ikan menurun) karena waduk darma mengalami kekeringan, sebaliknya saat musim hujan mulai datang pembudidaya mulai produksi ikan dengan menyiapkan KJA mereka kembali. Sedangkan di waduk Cirata yang tergolong waduk berukuran besar memiliki debit air yang relatif stabil, walaupun musim kemarau datang kegiatan budidaya tetap berjalan. Saat ini kondisi waduk sama – sama mulai memprihatinkan akibat kurangnya tingkat kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.

Waduk Dharma-Kuningan
Selasa, Agustus 04, 2009 | Author: ksatria_bontot

Bab I

Pendahuluan

I.1 Definisi danau atau waduk

Danau/situ/waduk/embung adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air danau/waduk digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum air irigasi, pembangkit listrik, penggelontoran, perikanan dsb. Jadi betapa pentingnya air tawar yang berasal dari waduk/danau bagi kehidupan.

Di Indonesia terdapat kurang lebih danau kategori besar > 50 ha sebanyak 500 buah. Danau tersebut tersebar merata di setiap pulau besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Papua) kecuali Pulau Bali. Sebaliknya waduk besar sebagian besar berlokasi di P.Jawa. Selain kategori danau besar terdapat juga danau kecil yang jumlahnya ribuan dan waduk kecil yang disebut embung. Danau kecil sering dikenal sebagai situ berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438 buah situ.

Danau yang terbesar adalah Danau Toba yang terletak 905 meter dpl, panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dan kedalaman maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba merupakan danau terdalam kesembilan di dunia dan merupakan danau tipe vulkanik kaldera yang terbesar di dunia. Danau yang terdalam di Indonesia adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan kedalaman maksimum 590 m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia (Bemmelen 1949 dalam Lehmusloto et.al, 1995).

Pada umumnya kedalaman danau bervariasi antara 50 – 200 m, akan tetapi banyak juga yang mempunyai kedalaman lebih rendah dari 50 m. Sampai saat ini sebagaian besar dari danau belum diketahui volumenya dengan pasti, demikian juga halnya presipitasi, evaporasinya serta debit inflow dan outflow-nya. Dengan demikian waktu tinggal air danau tidak diketahui sehingga daya tampung beban pencemaran tidak diketahui dan sekaligus pemanfaatan bagi berbagai keperluan sulit untuk diprogramkan.

Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Menurut Komisi Dam Dunia Bendungan/Waduk besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang 15 m. Embung banyak dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100 buah. Dan sebagian besar 80% berlokasi di P.Jawa. Sejak terjadi krisis moneter pada tahun 1998, pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan lagi kecuali perencanaan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.

Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/out flow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk/embung diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, penggelontoran, air perikanan, tempat parawista. Jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total dari kebutuhan nasional.

I.2 Penelitian danau atau waduk di Indonesia

I.2.a Periode 1970-1980

Penelitian kualitas air waduk yang dilakukan Puslitbang Sumber Daya Air sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Jumlah waduk yang diteliti tidak banyak mengingat waduk yang sudah selesai dibangun pada periode tersebut juga tidak banyak. Waduk yang sudah terbangun pada priode tersebut adalah Waduk Darma, Jatiluhur di Jawa Barat Karangkates di Jawa Timur (1972). Penelitian kualitas air waduk dilakukan terhadap waduk yang baru beroperasi digenangi dan waduk yang sudah lama beroperasi. Berdasarkan hasil penelitian pada periode tersebut kondisi kualitas air waduk masih bagus baik pada lapisan epilimnion dan hypolimnion.atau dengan kata lain masih tercemar ringan. Hal ini kita dapat mengerti oleh karena penduduk, industri, perambahan hutan belum banyak sehingga limbahnya masih dapat dibersihkan oleh sungai atau waduk itu sendiri (self purification).

I.2.b Periode 1980 – 1995

Penelitian kualitas air waduk awal tahun 80-an dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air dan hasilnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan tahun periode 70-an. Akan tetapi penelitian kualitas air waduk yang dilakukan pada 90-an bersama Pemerintah Filandia hasilnya mengalami perubahan dibandingkan dengan hasil tahun 80-an. Hasil penelitian kualitas air waduk 90-an menunjukkan bahwa kualitas airnya sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk tersebut disebabkan oleh pencemaran organik terutama senyawa nitrogen dan posfat yang berasal dari air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan KJA. Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, posfat, dan zat organik dapat dibagi 3 kategori yaitu: pencemaran amat sangat berat (hypertrophic = penyuburan amat sangat berat), pencemaran berat (eutrophic = penyuburan berat), dan pencemaran sedang (oligotrophic = penyuburan sedang), dan mesotrophic (belum tercemar). Waduk yang masuk tingkat eutrophic adalah Waduk Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor, Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain.

I.2.c Periode 1996 – 2010

Pada periode tersebut penelitian kualitas air waduk baru dimulai pada tahun 2004. Pada tahun 2004-2005 penelitian baru dilakukan pada waduk di P. Jawa sebanyak 10 waduk terutama waduk yang mengalami pencemaran yang amat sangat berat dan berat. Dari penelitian terlihat bahwa pencemaran waduk makin berat dibandingkan dengan sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu <>epilimnion (lapisan dengan sinar matahari dapat tembus sampai kedalaman tsb.). Selain itu kualitas airnya telah tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri, air irigasi. Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah waduk Karangkates sehingga sering terjadi algal bloom. Dampak algal bloom tersebut air waduk Karangkates mulai berwarna hijau pekat kemudian berubah menjadi coklat, ikan mati, timbul bau busuk, Mesin-mesin PLTA makin cepat terkorosi. Pencemaran di Waduk Karangkates yang menyebabkan terjadi algal bloom adalah limbah penduduk, peternakan, pertanian. Dampak yang paling serius dari algal bloom pada waduk adalah adanya produksi toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.

Selain pencemaran kimia, juga terjadi pencemaran fisik, yaitu sedimentasi yang berat kepada waduk. Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan prinsip – prinsip konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut diatas juga disebabkan oleh perubahan tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk serta kepadatan penduduk. Sebagai contoh akibat kemiskinan dan perambahan hutan adalah di hulu Kali Brantas yaitu pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997, hutan di hulu Kali Brantas hampir 70% habis dijarah oleh penduduk.

Waduk yang mengalami tingkat sedimentasi yang tinggi adalah Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DPS Citarum Tengah, Waduk Bili-bili di Sulawesi Selatan serta lainnya.

I.3 Pengelolaan danau dan waduk

Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang SumberDaya Air, yang terdiri 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk embung, situ dan danau yang merupakan sumber daya air telah banyak banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolan waduk/danau yang banyak mengalami kendala. Dalam UU-Sumber Daya Air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No. 51 Tahun 1997, tentang Lingkungan Hidup; PP. No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kep. Pres No.123/2001, tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumber daya air.

Walaupun sudah banyak undang–undang atau peraturan yang diundangkan tentang pengelolaan sumber daya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air akan tetapi pada kenyataannya konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumber daya air pada danau dan waduk, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan malahan semakin rusak baik kuantitas maupun kualitas airnya.

Beberapa faktor yang menyebabkan kendala dalam melakukan pengelolaan sumber daya air antara lain:

a. Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk, yaitu setiap instansi lebih mementingkan sektornya dari pada konservasinya.

b. Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air danau atau waduk sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

c. Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya danau/waduk untuk melakukan upaya konservasi yang optimal.

d. Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi.

e. Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS ataupun penduduk yang bermukim di sekitar danau/waduk.

Bab II

Waduk Darma

II.1 Lokasi

Waduk Darma mulai dibangun tahun 1958. Ada sekitar delapan desa yang ditenggelamkan untuk mewujudkan waduk ini. Airnya berasal dari beberapa sungai kecil di Kuningan, seperti Sungai Cinangka dan Sungai Cisalak. Waduk Darma terletak di sebelah barat daya dari kota Kuningan, tepatnya di desa Jagara- Kecamatan Darma dan pada lintasan jalan raya Cirebon-Kuningan-Ciamis. Menempati areal seluas ± 425 ha, dikelilingi oleh bukit dan lembah serta pemandangan yang indah dengan udara yang sejuk. Kapasitas genangan air maksimal ± 39.000.000 m3. Jarak obyek wisata ini adalah ± 12 km dari kota Kuningan dan dari ± 37 km dari kota Cirebon .

II.2 Fungsi

Air Waduk Darma digunakan untuk irigasi sawah sampai ke Kabupaten Cirebon. Sementara itu, sebagian lagi digunakan untuk kebutuhan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum di sekitar Cirebon. Waduk ini selain berfungsi sebagai penampungan air untuk pengairan dan perikanan juga dapat dijadikan sarana rekreasi dan olahraga. Apalagi diwaktu senja hari di Waduk Darma. Fasilitas yang tersedia :

• Areal kemping

• Kolam Renang Anak-anak

• Perahu Motor

• Cottage, dll

II.3 Pengelolaan di bidang Perikanan

Selain untuk irigasi dan wisata, waduk ini juga dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya perikanan. Pola yang diterapkan pun tidak jauh berbeda dengan petani ikan di Waduk Saguling dan Jatiluhur, yakni menggunakan pola japung (jaring terapung) maupun karamba. Meski sama-sama memanfaatkan air waduk, perikanan di Waduk Darma berbeda dengan perikanan di Saguling maupun Jatiluhur yang termasuk kategori waduk besar. Bagi Waduk Darma yang termasuk kategori waduk menengah, perubahan volume air sangat terasa di setiap musim.

Pada musim kemarau, dalam rentang waktu tidak sampai dua bulan, penyusutan volume air sudah terlihat dengan jelas. Sebaliknya saat musim hujan. Naiknya permukaan air waduk akibat pertambahan volume air, juga memengaruhi budi daya perikanan. Fluktuasi permukaan air itu berbanding lurus dengan tinggi rendahnya produksi ikan yang diperoleh para petani ikan. Bila permukaan air naik seperti pada musim hujan sekarang ini, produksi perikanan juga berpotensi naik. Sebaliknya, saat kemarau, produksi perikanan ikut turun. Saat kemarau, ketika air menyusut, dasar waduk bisa terlihat. Bahkan, ada yang kemudian menjadi jalan sementara yang bisa dilalui mobil dan kendaraan roda dua.

Para petani ikan kini tak bisa lagi menyandarkan hidupnya pada waduk itu akibat fluktuasi muka air waduk yang tidak menentu. Jangankan saat kemarau, ketika musim hujan pun tinggi permukaan air tak pernah menyentuh batas maksimum.

Dilihat dari sumber air, Waduk Darma hanya mengandalkan suplesi dari air hujan. Sungai-sungai kecil yang merupakan anak Sungai Cisanggarung juga ikut memasok, namun relatif kecil dan pasokannya juga sangat bergantung pada debit air hujan. Air bawah tanah pun cenderung terus menurun. Hal ini disebabkan berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan liar dan penggundulan hutan di daerah hulu di pegunungan Ciremai.

Pada akhirnya petani ikan di Waduk Darma yang harus ikut menanggung dampak buruk kerusakan lingkungan dan menurunnya daya dukung alam ini. Selain itu kondisi ini semakin di perburuk dengan terjadinya pendangkalan yang disebabkan endapan lumpur dan lumut yang tumbuh dari sisa pakan keramba jaring terapung.


Bab III

Penutup

III.1 Saran

Pemkab setempat harus menindak tegas aktivitas penebangan liar serta penggundulan hutan secara semena-mena di daerah tersebut dan melakukan pengerukan waduk secara berkala. Selain itu pemilik keramba jarring terapung harus melakukan pembersihan sisa pakan yang berasal dari jaring terapung yang dimiliki.