Planktonologi
Rabu, Agustus 05, 2009 | Author: ksatria_bontot





COPEPODA


I. Pendahuluan

Zooplankton merupakan plankton hewani yang menjadi konsumen utama fitoplankton (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Selanjutnya dinyatakan meskipun jumlah, jenis, dan kepadatannya lebih rendah dari fitoplankton, zooplankton membentuk kelompok yang lebih beranekaragam. Setidak-tidaknya ada sembilan filum yang mewakili kelompok zooplankton ini dan ukurannya sangat beragam, dari yang sangat kecil atau renik sampai yang garis tengahnya lebih dari 1 mikron.

Menurut Basmi (1997), zooplankton dapat diklasifikasikan berdasarkan lama hidupnya sebagai plankton. Yang pertama adalah holoplankton (plankton permanen) yakni organisme yang hidup sebagai plankton selama hidupnya. Yang kedua adalah meroplankton (plankton temporer) yakni organisme yang hidup sebagai plankton hanya sebagian dari siklus hidupnya, seperti selama masa telur atau fase larva.

Bagian terbesar dari zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustacea. Selain Copepoda yang sangat dominan, dalam krustasea holoplanktonik juga terdapat anggota-anggota ordo Cladocera, subklas Ostracoda, ordo Mysidacea, ordo Amphipoda, ordo Euphausiacea, dan ordo Decapoda. Kebanyakan krustasea yang disebutkan ini adalah hewan-hewan holoplankton yang kecil. Zooplankton makan dengan cara menyaring fitoplankton dan atau hewan-hewan kecil dari air (Nybakken, 1988).

Diantara mikrozooplankton yang di laut, grup-grup penting di dalam jaring makanan adalah dari dinoflagellata, cilliata dan nauplius copepoda. Hasil penelitian Beers dan Stewart (1969) dalam Omori dan Ikada (1976) terhadap mikrozooplankton di perairan lepas pantai San Diego pada kolom air 100 m di bawah permukaan, didapatkan bahwa 60% dari total jumlah individu adalah cilliata, yang umumnya berukuran ± 103 µm didominasi (lebih dari 50%) oleh potnauplius copepoda.

Dari individu net plankton yang terdapat pada sebagian perairan adalah jenis-jenis dari copepoda. Menurut Basmi (1997), copepoda net plankton umumnya adalah taksa yang melimpah sepanjang tahun lebih dari 80%, tetapi di perairan pantai dan inlet-jumlah individu cepat bertambah jumlahnya yang reproduksinya dengan cara partenogenesis, juga larva crustacea decapoda pada musim-musim tertentu amat padat.

Copepoda adalah grup crustacea kecil yang dapat ditemui di laut dan hampir di semua habitat air tawar dan mereka membentuk sumber terbesar protein di samudra. Banyak spesies adalah plankton, tetapi banyak juga spesies benthos dan beberapa spesies kontinental dapat hidup di habitat limno-terestrial dan lainnya di tempat terestrial basah, seperti rawa-rawa. Copepoda merupakan kelompok zooplankton yang memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem perairan. Copepoda memiliki peran penting pada rantai makanan di lautan karena peranannya sebagai sumber makanan utama bagi karnivor, termasuk jenis-jenis ikan untuk kepentingan komersial (Pechenik, 2000). Dalam industri pembenihan ikan laut dewasa ini, copepoda mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk larva ikan. Copepoda cocok sebagai pakan larva ikan karena selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi juga karena ukuran tubuh yang bervariasi sehingga sesuai tingkat perkembangan larva ikan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa copepoda dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut yang lebih cepat dibandingkan rotifer dan Artemia (Lavens dan Sorgelos, 1996).

Copepoda kaya akan protein, lemak, asam amino esensial yang dapat mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan. Keunggulan copepoda juga telah diakui oleh beberapa peneliti lain, karena kandungan DHA-nya yang tinggi, dapat menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan larva. Copepoda juga mempunyai kandungan lemak polar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Artemia sehingga dapat menghasilkan pigmentasi yang lebih baik bagi larva ikan (Mcevoy dkk., 1998 dalam Umar, 2002). Beberapa jenis Copepoda telah dikembangkan untuk dibudidayakan khususnya di manca negara. Copepoda tersebut termasuk kelompok harpacticoid dan calanoid. Calanoida merupakan copepoda yang jumlahnya paling banyak di lingkungan pelagis baik di laut maupun air tawar (Bradford-Grieve, 2002). Perairan Indonesia kaya akan kehadiran berbagai jenis copepoda, memiliki peluang besar untuk memilih jenis pakan hidup yang unggul sebagai pakan alternatif atau pengganti Artemia yang saat ini harganya kian melambung.

Menurut Sutomo (2003), copepoda laut jenis Tigriopus brevicornis, dapat hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas yakni mulai dari 10 sampai 40 ppt, namun pada salinitas 10 ppt tidak didapatkan copepoda yang bertelur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa copepoda dapat dikultur di air laut dengan salinitas 25-30 ppt (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Menurut Anindiastuti dkk. (2002), untuk mengkultur copepoda pada skala laboratorium sebaiknya menggunakan air laut yang steril bersalinitas 25 ppt. Sementara itu copepoda di perairan umum dapat hidup pada salinitas antara 26,50 dan 35,67 ppt (Levinton, 1982 dalam Umar, 2002). Dengan demikian, salinitas yang optimum untuk perkembangan copepoda laut belum diketahui secara pasti.

Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd, 1990 dalam Faidar, 2005). Menurut Hutabarat dan Evans (1984), salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Salinitas diduga berpengaruh terhadap perkembangan copepoda, makanya perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Selain itu lebih dari 2000 jenis Copepoda dilaporkan hidup sebagai parasit. Biota tersebut biasanya berasosiasi dengan spong, Coelenterata, cacing-cacing Polychaeta, Moluska, Echinodermata dan vertebrata air. Menurut MC LUGHLIN (1980), Copepoda yang hidupnya sebagai parasit ada 4 bangsa yaitu Notodelphyoida, Monstrilloida, Siphonostomatoida dan Poecilostomatoida. Bentuk badan dari parasit Copepoda sangat bervariasi.

II. Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Secara taksonomi copepoda termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthtropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Maxillopoda

Subkelas : Copepoda

Superordo : Gymnoplea (Giesbrecht 1882)

Ordo : Calanoida (Sars 1903)

Sumber : http://www.uni-oldenburg.de/monoculus

Morfologi dari kelompok ini, umunya pipih memanjang, kaki pendek Bentuk dewasa mempunyai sebuah alat penginderaan pertama yaitu antena yang tersusun dari banyak segmen. Sedangkan antena kedua berfungsi untuk memegang. Pada daerah oral tubuh, dari beberapa kelompok yang termasuk parasit Copepoda termodifikasi sebagai mulut yang berbentuk pipa (mouth-tube) yang berfungsi untuk menyedot makanan, dengan mandibula berbentuk seperti parutan dibagian dalamnya.

Adaptasi secara morfologis yang terjadi pada parasite Copepoda berupa tambahan Cephalothorax yang kompleks pipih memanjang dan bagian ventral cembung dengan sebuah lempeng penghisap (sucking disc). Selain itu ada yang mempunyai struktur seperti jangkar, berfungsi untuk menjaga parasit agar tetap menempel pada hospes selama hidupnya. Contohnya pada Lernaecopodidae dan bangsa siphonostomatoida.

Copepoda merupakan krustacea yang sangat banyak dijumpai diantara fitoplankton dan pada tingkat tropik yang tinggi pada ekosisitem. Copepoda dewasa berukuran antara 1 dan 5 mm. Tubuh copepoda berbentuk silindrikonikal, dimana anterior lebih lebar. Bagian depan meliputi 2 bagian yakni cephalotoraks (kepala dengan toraks dan segmen toraks ke enam) dan abdomen yang lebih kecil dibandingkan cephalotoraks. Pada bagian kepala memiliki mata di bagian tengah dan antenna yang pada umumnya sangat panjang. Copepoda yang bersifat planktonik pada umumnya suspension feeders (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

III. Tiga Ordo penting pada Copepoda

a) Harpaticoida

Copepoda yang sangat kecil, dengan antenna yang pendek

Abdomen tidak dapat dibedakan dengan toraks.

Panjangnya tidak lebih dari1mm, sebagian besar spesies berukuran lebih kecil lagi.

b) Calanoida

Antena panjang (sedikit sama panjangnya dengan abdomen, dan memiliki 16-25 segmen).

Abdomen dimulai dari toraks.

Panjangnya mencapai 1½-2½ mm ketika mencapai dewasa.

c) Cyclopida

Antena lebih pendek daripada Calanoida.

Abdomen ditandai dari toraks, kecuali pada Copepoda parasit.

Panjangnya sekitar ½-3 mm.

IV. Siklus hidup


Copepoda jantan pada umumnya lebih kecil dibandingkan copepoda betina. Selama melakukan reproduksi atau kopulasi, organ jantan berhubungan dengan betina dengan adanya peranan antena, dan meletakkan spermatopora pada bukaan seminal, yang dilekatkan oleh lem semen khusus. Telur-telur umumnya lebih dekat ke bagian kantung telur (ovisac) . Telur - telur ditetaskan sebagai nauplii dan setelah melewati 5-6 fase nauplii (molting), larva akan menjadi copepodit. Setelah copepodit kelima, akan molting lagi menjadi lebih dewasa. Sebagian besar Copepoda mengalami tingkatan hidup bebas selama pergantian kulit (molting) sampai tingkat infektif yang belum dewasa. Perkembangan ini membutuhkan waktu tidak kurang dari satu minggu hingga satu tahun, dan kehidupan copepoda berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Dalam satu siklus hidup copepoda memerlukan waktu selama kurang lebih 6-7 hari (Anindiastuti dkk., 2002).

Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup, copepoda akan memproduksi cangkang atau telur dormant (istirahat) seperti halnya kista. Hal ini juga menyebabkan tingkat survival berlangsung dengan baik walapun kondisi lingkungan tidak mendukung contohnya pada suhu dingin (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

V. Kandungan nutrisi

Pada umumnya kualitas nutrisi copepoda dapat diterima dengan baik oleh larva-larva ikan laut, dan dipercaya lebih memiliki kualitas nutrisi yang tinggi dibandingkan Artemia. Copepoda memiliki kandungan protein yang tinggi (antara 44 dan 52%) dan struktur asam amino yang baik kecuali metionin dan histidin. Komposisi asam lemak dari copepoda bervariasi tergantung pakan yang diberikan selama kegiatan budidaya (Lavens dan Sorgeloos, 1996)

Fase nauplius:

· 3,5% EPA; 9% DHA; 15% HUFA(n-3)

Fase dewasa:

· Pakan Dunaliella(6% EPA; 17% DHA)

· Pakan Rhodomonas (18% EPA; 32% DHA)

Copepoda (copepodit dan copepoda dewasa) juga dipercaya memiliki level enzim pencernaan yang lebih tinggi dan berperan penting untuk menunjang kebutuhan nutrisi larva. Padahal pada fase awal dari larva ikan-ikan laut belum memiliki perkembangan pada sistem pencernaan dan yang lebih dipercaya berperan hanyalah cadangan makanan exogenous (pakan dari luar) sebagai cadangan makanan alami untuk organisme. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pederson (1984 dalam Lavens dan Sorgeloos, 1996), yang menguji pencernaan pada awal pemeliharaan larva, dan ditemukan bahwa copepoda lebih cepat tercerna dan cepat melewati usus serta lebih bagus tercerna dibandingkan Artemia.

VI. Karakteristik habitat

Copepoda jenis Tigriopus brevicornis (merupakan jenis copepoda yang hidup di air laut), dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas yakni 10-40 ppt. Pada salinitas 10 ppt, proses pertumbuhan dan reproduksi copepoda tersebut terhambat dan mortalitas cukup tinggi pada tahap awal adaptasi. Proses penghambatan tersebut disebabkan adanya proses osmoregulasi copepoda terhadap salinitas baik salinitas rendah maupun tinggi. Pada salinitas 20 dan 30 ppt, memperlihatkan pertumbuhan copepoda yang cukup baik, tetapi salinitas yang paling baik untuk tumbuh dan berkembang adalah 30 ppt (Sutomo, 2003). Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996), salinitas yang layak bagi pertumbuhan copepoda dalam kegiatan budidaya adalah 35 ppt, tetapi mampu mentolerir salinitas antara 15 dan 70 ppt. Sejalan dengan pendapat Marcus dan Wilcox (2007), bahwa salinitas yang sesuai untuk perkembangan dan pertumbuhan copepoda 35 ppt.

Copepoda tidak mampu mentolerir perubahan suhu lingkungan yang ekstrim tetapi mampu hidup pada kondisi yang intensif antara 17 dan 30ºC, dan suhu yang optimal untuk tumbuh adalah berkisar antara 16 dan 18ºC. Media kultur yang baik bagi copepoda pada skala laboratorium adalah air laut steril yang bersalinitas 25 ppt dengan suhu ruangan 25ºC dan pH 8,0 (Anindiastuti dkk., 2002). Menurut Lavens dkk (1991), stok kultur copepoda sebaiknya dipelihara pada air laut yang bersalinitas 28 ppt dengan suhu antara 20 dan 21ºC pada ruangan yang terkontrol.

Menurut Uye (1980 dalam Lee dkk., 2005) bahwa masa hidup copepoda (Acartia clausa) yang menggunakan lumpur sebagai sedimen mencapai sekitar 100 sampai 165 hari dengan suhu 5ºC dan tanpa sedimen dengan suhu 20ºC, masa hidupnya hanya sekitar 70 sampai 75 hari.

VII. Kultur Copepoda

a. Kelebihan Copepoda

Kandungan protein yang tinggi(44-52%)

Kandungan asam amino yang tinggi :

- Meningkatkan daya reproduksi induk, mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan.

- Kandungan EFA (Essential fatty acid), DHA , serta (n-3) HUFA (highly unsaturated fatty acid) sangat tinggi pada tahap nauplii →dipengaruhi juga pada pakan yang diberi

- Menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan yang lebih baik bagi larva.

Lebih mudah untuk dicerna dibanding Artemia

Dapat didistribusikan dalam berbagai tahap hidup (nauplii atau copepodit) sesuai kebutuhan

b. Kekurangan Copepoda

Sulit untuk diproduksi secara masal → terkait dengan siklus hidup

VIII. Gambar Variasi Bentuk Copepoda

This entry was posted on Rabu, Agustus 05, 2009 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 26 Juni 2011 pukul 21.05 , HALAMANKU mengatakan...

...good information... bravo ...!