kepiting dan rajungan...sama tp berbeda
Jumat, Januari 22, 2010 | Author: ksatria_bontot

I. Pendahuluan

Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry, 1996).

Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr Kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata menimbulkan keracunan

Jenis yang paling populer sebagai bahan makanan dan mempunyai harga cukup mahal adalah Scylla serrata, kadang-kadang dikenal dengan nama kepiting, kepiting hijau atau kepiting Cina. Ukurannya bisa mencapai 20 cm. Capit pada jantan dewasa lebih panjang daripada capit betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, juga di daerah tambak air payau atau muara sungai, jarang ditemukan di pulau-pulau karang.

II.Ciri – ciri morfologi

Jenis lain yang juga banyak dijumpai dijual di pasar adalah Portunus pelagicus, lazim dikenal dengan nama rajungan. Hewan ini bisa mencapai ukuran 18 cm, capitnya memanjang, kokoh dan berduri. Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar, sapitnya pun lebih lebih panjang daripada yang betina. Warna dasar pada yang jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar, walaupun belum dewasa.

Bila kepiting hidup di perairan payau, seperti di hutan bakau atau di pematang tambak, rajungan hidup di dalam laut. Rajungan memang tergolong hewan yang bermukim di dasar laut, tapi malam hari suka naik ke permukaan untuk cari makan. Makanya rajungan disebut juga "swimming crab" alias kepiting yang bisa berenang. Rajungan Portunus ini hidup pada habitat yang beranekaragam: pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga laut terbuka. Dalam keadaan biasa, ia diam di dasar laut sampai kedalaman lebih 65 m, tetapi sekali-kali ia dapat terlihat berenang dekat ke permukaan laut. Untuk keperluan renangnya, pasangan kakinya yang paling belakang berbentuk dayung. Capitnya digunakan untuk memasukkan makanan ke mulutnya

Dalam pertumbuhannya, rajungan (dan semua anggota Portunidae) sering berganti kulit. Kulit kerangka tubuhnya terbuat dari bahan berkapur dan karenanya terus tumbuh. Jika ia akan tumbuh lebih besar maka kulitnya akan retak pecah dan dari situ akan keluar individu yang lebih besar dengan kulit yang masih lunak. Rajungan yang baru berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak, diperlukan beberapa waktu untuk dapat membentuk lagi kulit pelindung yang keras. Masa selama bertubuh lunak ini merupakan masa paling rawan dalam kehidupan kepiting, karena pertahannya pun sangat lemah. Tidak jarang ia disergap, dirobek-robek dan dimakan oleh sesama jenisnya. Kanibalisme di kalangan rajungan tampaknya memang merupakan hal yang sering terjadi terutama dalam ruang terbatas, baik pada yang dewasa maupun yang masih larva.

Seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva sampai lebih sejuta ekor. Larva yang baru menetas ini bentuknya sangat berlainan dari bentuk dewasa. Larva ini mengalami beberapa kali perubahan bentuk sampai mendapatkan bentuk seperti yang dewasa. Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang daripada rajungan. Di kepalanya terdapat semacam tanduk memanjang, matanya besar dan di ujung kakinya terdapat rambut-rambut. Tahap zoea ini sendiri lagi dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap megalopa dengan bentuk yang lain lagi. Berbeda dengan yang dewasa yang hidup di dasar, larva rajungan berenang-renang, terbawa arus, dan hidup sebagai plankton. Pada tahap megalopa, bentuknya sudah mulai mirip rajungan, tubuhnya makin melebar, kaki dan capitnya sudah jelas wujudnya, matanya sangat besar (bahkan bisa lebih besar dari mata yang dewasa). Barulah pada perkembangan tahap berikutnya terbentuk juvenil yang sudah merupakan rajungan muda.

Ada beberapa jenis rajungan lainnya yang juga bisa dimakan. Di Jakarta misalnya sekali-kali dapat ditemukan rajungan bintang (Portunus sanguinolentus) yang mudah dikenal dengan adanya bintik berwarna merah coklat di punggungnya. Rajungan ini ukurannya lebih kecil dari Portunus pelagicus, dan hidup di laut terbuka mulai dari tepi pantai sampai kedalaman lebih dari 30 m, Seringkali ditemukan juga rajungan karang (Charybdis feriatus) yang mempunyai warna yang khas, coklat kemerah-merahan, dan di punggungnya terdapat gambaran pucat menyerupai salib.

Rajungan lain yang bisa berenang dan dengan ukuran yang lebih kecil adalah rajungan angin (Podophthalmus vigil), yang umumnya hidup di laut terbuka sampai kedalaman 70 m. Cirinya yang sangat menonjol adalah matanya yang mempunyai tangkai yang amat panjang dan bisa direbahkan. Jenis ini seringkali tertarik oleh sinar lampu dan karenanya bisa tertangkap juga dengan bagan.

Selain kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi Brachyura yang mempunyai ciri-ciri dan bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang berbeda-beda. Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-daerah tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah “soldier crab”, sedangkan di sini diberi julukan “tentara Jepang”. Di pantai dekat Merauke, jika air sedang pasang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di atas pasir, serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan individu dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit gangguan saja, misalnya dengan langkah seorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan lenyap seketika secara serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman, mereka akan keluar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas pasir.

Lebih dekat ke daratan akan dijumpai kepiting atau ketam yang makin dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih kering. Di lumpur-lumpur lunak di dasar hutan-hutan mangrove yang tidak terlalu rimbun sering ditemukan ketam binatu dari marga Uca. Umumnya berukuran kecil, tetapi biasanya sangat menyolok karena warnanya yang “menyala”, merah, hijau atau biru metalik, sangat jelas lebih-lebih dengan latar belakang lumpur bakau yang berwarna hitam. Ciri yang sangat menonjol, ialah pada yang jantan salah satu capitnya berukuran sangat besar, sama sekali tak seimbang dengan ukuran capit yang satunya lagi yang kecil sekali. Capit besar ini sering terlihat menggapai-gapai. Di pantai yang berbatu-batu, kemungkinan akan menjumpai kepiting berwarna hijau menarik, Grapsus. Kakinya panjang-panjang, sangat cekatan bergerak di batu-batu yang terhempas ombak. Capitnya kecil saja.

Lebih ke darat, di atas daerah pasang surut, bisa ditemukan gelenteng (Ocypode marcrophtalmus) yang sudah lebih menyesuaikan diri dengan kehidupan darat (terrestrial). Hewan ini yang tubuhnya bisa berukuran sekitar 6 cm membuat lubang-lubang yang dalam di pasir (sampai 1 m) di sekitar batas atas garis pasang. Kakinya lancip dan panjang hingga dapat bergerak dengan cepat, matanya mempunyai tangkai yang panjang. Ia dilengkapi dengan capit yang kuat. Malam hari baru ia keluar dari lubangnya untuk mencari makanan berupa hewan-hewan mati, atau juga hewan hidup. Dalam bahasa Inggris, hewan ini diberi nama yang seram, “ghost crab” (kepiting hantu). Di kalimantan dilaporkan adanya gelenteng yang buas, dapat menyergap tukik (anak penyu yang baru ditetaskan) yang sedang menuju ke laut. Kemudian diseret ke lubangnya dan dicabik-cabik untuk dimakan.

Penyesuaian untuk hidup di darat, dimungkinkan karena kepiting ini mempunyai kantong insang yang berisi air yang dibawanya kemana-mana. Sekali-sekali jika air dalam kantong itu telah jenuh maka harus diganti lagi dengan air yang baru. Di pulau Kerakatau terdapat kibau (Gecarcoidea lalandei). Jenis kepiting ini juga sudah menyesuaikan diri hidup di darat, bahkan terdapat sampai ke puncak Krakatau. Tetapi ikatannya dengan laut belum terputus sama sekali. Telurnya ditetaskan di laut.

Tidak semua kepiting dari seksi Brachyura ini hidup bebas dalam air, banyak jenis diantaranya mempunyai persekutuan hidup yang sudah begitu akrab dengan hewan lainnya. Bagi orang yang gemar makan kerang darah (Anadara) misalnya mungkin pernah sesekali waktu menjumpai ada kepiting kecil, sekitar 5 mm, hidup di dalam ruangan cangkang kerang tersebut. Kepiting kecil ini (Pinnotheres palaensis) tubuhnya agak bulat, mempunyai mata kecil, kaki yang ramping, dan menumpang cari makan (kommensal) sambil berlindung pada si kerang. Ada pula kepiting Pinnotheres seperti yang hidup di dalam tubuh teripang Holothuria scabra yakni di saluran kloakanya. Kadang-kadang sepasang jantan dan betina berada bersama-sama daam satu individu teripang. Sebagian lagi, misalnya marga Xaiva dan Caphyra hidup bersama-sama dengan hewan lunak (Oktocoralia).

Kepiting dari suku Dromiidae mempunyai kebiasaan yang aneh pula. Untuk penyamaran tubuhnya (camouflage), ia biasanya “menggendong” spons (sponge) yang hidup, yang diletakkan di punggungnya dan dibawanya kemana-mana. Ini dimungkinkan karena pasangan kaki ke-4 dan ke-5 nya menghadap ke atas dan mempunyai sapit kecil untuk memegang gendongannya. Gambar 140 menunjukkan bagaimana seekor kepiting Dromia menaikkan gendongannya ke atas punggung, dengan cara menggulingkan diri terlebih dahulu. Jika perlu spons itu dipotong-potong dan dibentuk dulu agar sesuai untuk punggungnya.(puser).

Dari segi kesehatan, keunggulan rajungan adalah kandungan proteinnya cukup tinggi, sementara kandungan lemak dan kolesterolnya rendah. Proteinnya sekitar 16-17gr per 100gr daging rajungan itu. Jadi cukup besar untuk menjadi sumber protein yang sangat potensial. Bagi konsumen yang membatasi makanan berlemak dan kolesterol tinggi, rajungan adalah sahabat baik Anda. Menikmati hidangan laut ini tidak akan menyebabkan Anda terkena penyakit jantung atau tekanan darah tinggi. Kandungan lemak dan kolesterol di dalam rajungan sangat rendah. Jenis kepiting ini bukan saja sebagai sumber makanan, namun juga kaya kandungan gizi. Bahkan kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Antara lain karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1.

Sumber :

http://www.dkp.go.id/content.php?c=1592

http://tips-tips-http : //sehat.blogspot.com/2009/01/ini-bedanya-r

enzim papain
Jumat, Januari 22, 2010 | Author: ksatria_bontot

Tanaman pepaya tentunya sudah tak asing lagi bagi kita. Buahnya yang muda biasa dibuat rujak, sedang yang tua dan matang dibuat manisan atau dimakan dalam keadaan segar. Selain lezat rasanya ia juga bergizi tinggi dan dapat menghilangkan dahaga. Ternyata disamping untuk sayur dan rujak, buah pepaya muda dapat juga digunakan untuk mengempukan daging. Yang berperan dalam proses pengempukan adalah enzim yang terkandung didalam getah buah papaya muda itu.

Getah ini dapat dibuat tepung dan tidak kehilangan keaktifannya dalam mengempukan daging, serta dapat digunakan secara praktis dan kapan saja. Teknologi pembuatannya sederhana sehingga dapat dijadikan teknologi tepat guna, serta dapat juga dikomersilkan dengan mengemasnya dalam kemasan plastik atau botol seperti bungkus atau wadah bumbu masak (vetsin) dan dijual dipasaran sebagai “obat” pengempuk daging.

Kandungan Kimia pada Getah Pepaya

Dalam getah pepaya terkandung enzim-enzim protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Kadar papain dan kimopapain dalam buah pepaya muda berturut-turut 10 % dan 45% .

Lebih dari 50 asam amino terkandung dalam getah pepaya kering itu antara lain asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin, leusin, tirosin, phenilalanin, histidin, lysin, arginin, tritophan, dan sistein.

Papain merupakan satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman pepaya.. Pada pepaya, getah termasuk enzim proteolitik. Protein dasar itu memecah senyawa protein menjadi pepton. Contoh enzim proteolitik lainnya adalah bromelain pada nanas, renin pada sapi dan babi. Pemakaiannya masih jarang lantaran sulit diekstrak dan aktivitasnya lebih rendah dibanding papain.

1. Cara Pengambilan Papain

Papain diperoleh melalui penyadapan getah buah pepaya minimal berumur 3 bulan. Kemudian getah dikeringkan pada suhu 60 - 70oC selama 12 jam. Jika suhu terlalu tinggi, enzim proteolitik di papain rusak, kata Tofan A. Rachfianto, pengusaha papain sejak 2004 di Kediri, Jawa Timur. Setelah dimurnikan dengan ethanol 95%, getah bersalin menjadi tepung putih hingga kekuningan dengan rasa dan bau khas.

Mutu papain tergantung jenis pepaya, jumlah torehan, interval penyadapan, cara pengeringan, dan penyimpanan. Penelitian produksi papain dari berbagai jenis pepaya dilakukan Dudung Muhidin di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta, pada 1974. Pepaya yang memiliki kandungan proteolitik tertinggi adalah pepaya cibinong mencapai 113,02 unit/gram British Standard. Sedangkan produktivitas tertinggi adalah semangka paris yang berumur 2, 5 bulan setelah bunga mekar. Pada saat itu, produktivitasnya mencapai 1 kg getah per tanaman.

Jumlah torehan maksimal 5 buah dengan kedalaman 2 mm. Tujuannya agar pepaya tidak cepat busuk. Interval penyadapan terbaik, 4 hari sekali pada pukul 05.00 - 08.00. Buah pepaya disadap 14 kali dengan pisau khusus. Hasilnya, satu buah pepaya menghasilkan 40 gram getah selama 70 hari atau sebanding dengan 4 gram papain kasar. Untuk meningkatkan produksi, hormon ethepon atau bawang putih dioles di permukaan kulit buah sehari sebelum penyadapan.

Papain yang diproses dengan teknologi spray dryer atau freeze drying berkualitas tinggi. Warna putih susu dapat bertahan hingga 10 tahun. Sebaliknya, papain hasil pengeringan matahari berwarna cokelat. Dalam 3 hari saja warna menjadi lebih gelap dan mengeluarkan bau tak sedap.
Penyimpanan papain standar internasional berupa kemasan primer dalam plastik vakum dan kaleng sebagai kemasan sekunder. Pengamanan berlapis itu mencegah reaksi oksidasi yang menurunkan nilai aktivitas proteolitik. Beragam industri seperti pengempuk daging, sabun, kosmetik, dan minuman menggunakan papain maksimal 6 bulan, saat nilai proteolitik stabil.

2. Tepung Getah pepaya

Untuk membuat tepung getah pepaya caranya mudah saja. Kita hanya menoreh atau menggores buah pepaya muda yang masih tergantung dipohon dan getah yang keluar ditampung dalam wadah. Buah tersebut tidah perlu dilepas dari pohonnya sehingga dapat dibiarkan menjadi matang. Pengambilan getah dapat dilakukan beberapa kali selama buah masih muda dan mengandung banyak getah. Setelah terkumpul, getah ditempatkan dalam wadah alumunium atau wadah lain yang berbentuk nampan, kemudian dijemur atau dikeringkan dengan oven pada suhu 40 – 50 o C. Selama penjemuran atau pengeringan, kebersihan getah dan lingkungan harus betul-betul dijaga. Setelah kering, kemudian ditumbuk dan disaring hingga didapat tepung halus, sehalus tepung beras atau tepung terigu.

3. Kegunaan Papain

a.Teknologi Pangan

a.1 Pelunak Daging

Penggunaan tepung enzim untuk mengempukan daging dapat dilakukan dengan berbagai macam-macam cara. Pertama dengan menaburkan tepung getah pepaya pada seluruh permukaan daging mentah. Untuk mendapat penyebaran enzim lebih merata, daging ditusuk-tusuk terlebihdahulu sebelum diberi enzim. Daging yang telah dicampur dengan tepung enzim dapat langsun dimasak tanpa diperam terlebih dahulu. Dalam bentuk segar proses pengempukan belum terjadi. Proses pengempukan daging dengan enzim papain akan berlangsung selama proses pemasakan (enzim ini akan aktif pada suhu pemasakan).

Cara lain yang dapat dilakukan adalah merendam dalam larutan enzim; menyemprotkan larutan enzim atau dengan menyuntikan larutan enzim kedalam berbagai tempat pada daging. Bahkan dapat pula menyuntikan pada ternak hidup yang disebut pengempukan antemortem, yang banyak dilakukan di negara barat. Cara-cara diatas dilakukan pada industri-industri pangolahan daging, karena dapat dilakukan dalam skala besar.

Penyuntikan larutan enzim papain kedalam ternak hidup dikenal sebagai pengempukan daging antemortem atau teknik proten process dan dagingnya disebut daging proten. Penyuntikan dilakukan pada pembuluh darah balik leher (vena jugularis) pada ternak besar pembuluh vena pada sayap unggas. Penyuntikan ini dilakukan beberapa waktu sebelum ternak dipotong, yakni kira-kira 5 – 10 menit untuk ternak besar seperti sapi dan kerbau dengan dosis 0.2 – 0.7 ml untuk tiap kg berat hidup (aktivitas larutan papain 100 tyrosil unit per ml).

Pada unggas dilakukan 5 – 10 detik sebelum hewan dipotong. Waktu penyuntikan ini ada hubungannya dengan sirkulasi darah secara lengkap (dari jantung keseluruhtubuh kemudian kembali ke jantung lagi) pada hewan. Untuk hewan besar, sirkulasi lengkap sekitar 1 – 2 menit dan pada unggas hanya 2 detik. Jumlah larutan yang disuntikan kedalam ternak besar biasanya 80 – 120 ml dan pada unggas 2 – 3 ml.

Larutan papain yang digunakan untuk penyuntikan biasanya papain murni. Tetapi dapat juga menggunakan tepung getah pepaya (tepung papain) dengan beberapa perlakuan pendahuluan. Untuk itu, 75 gram tepung papain dicampur dengan 75 gram gliserin murni sehingga terbentuk pasta, kemudian dilarutkan dalam air suling sebanyak 500 ml. Setelah itu dilakukan pemusingan (sentrifusa) sehingga didapat larutan bening. Larutan ini kemudian dibebas kumankandengan saringan bakteri (seitz filter). Dengan cara ini keaktifan enzim yang diperoleh sekitar 800 – 1500 tyrosil unit per ml.

Dibanding cara lain, penyuntikan antemortem dianggap paling efisien. Sistem peredaran darah dapat membagi dosis papain keseluruh jaringan tubuh dengan proporsi yang diharapkan; jantung dapat memompa enzim keseluruh tubuh; dan jika hewan tidak jadi dipotong, ia masih dapat hidup terus karena papain dapat dikeluarkan dari tubuh hewan tersebut melalui system metabolismenya.

Di Amerika Serikat, satu jam sebelum pemotongan, sapi diinjeksi papain 1% dari bobot tubuh. Protein hewani dipecah menjadi pepton, tingkat stres hewan pun menurun sehingga memudahkan pemotongan. Dengan metode sama, papain disuntikkan pada hewan setelah dipotong. Itu dilakukan untuk melunakkan daging. Jumlah papain yang digunakan 0,05% ditambah 0, 2% garam dan 0, 01% monosodium glutamat. Dosis yang terlalu banyak dapat menghancurkan daging seperti bubur. Sebaliknya jika terlalu rendah, daging tetap kenyal sulit untuk dikunyah. Papain akan bekerja optimal dengan pemanasan 70oC. Pada suhu kamar, papain mempercepat pencairan daging beku.

a.2 Pembuat Protein Hewani

Disamping menguraikan protein, papain mempunyai kemampuan untuk membentuk protein baru atau senyawa yang menyerupai protein yang disebut plastein. Bahan pembentuk plastein berasal dari hasil peruraian protein daging. Pembentukkan plastein ini dapat lebih mengempukan daging.

Kimopapain merupakan enzim yang paling banyak terdapat dalam getah pepaya. Daya kerjanya mirip dengan papain, tetapi mempunyai daya tahan panas yang lebih besar. Juga, kimopapain lebih tahan terhadap keasaman tinggi, bahkan stabil dan masih aktif pada pH 2.0 (makanan sangat asam).

Fungsi pemecah protein justru dimanfaatkan untuk pembuatan produk tinggi protein hewani. Di Perancis dan Jerman, ikan ikan apkir pada industri pengalengan dikumpulkan menjadi satu dan disiram 1% papain. Hasilnya, protein ikan untuk pengganti susu skim, sumber protein dan substitusi ekstrak minyak hati ikan tuna yang harganya menjulang. Produsen keju, margarin, dan permen karet juga membutuhkannya. Papain digunakan dalam pembekuan susu menjadi margarin dan keju. Hasilnya lebih lembut dan harga lebih murah dibanding bila memanfaatkan enzim renin.

a.3 Penjernih Bir

Industri minuman tak luput membutuhkan getah papain. Di Amerika paling banyak digunakan perusahaan bir, kata Gumbira. Dengan penambahan papain menghasilkan warna lebih terang dan rasa yang kuat. Itu karena kandungan asam askorbat dan asam glutation yang dikandung papain. Kedua asam lemak itu menjaga stabilitas warna ketika didinginkan. Minuman fermentasi gandum menjadi gelap di bawah suhu ruang lantaran protein mengendap. Lantas, papain melarutkannya. Selain warna, aktivitas papain juga menghasilkan bir rendah kalori dan awet.

a.4 Ragi Biskuit

b. Kesehatan

b.1 Anti Kanker dan Tumor

Faedah getah pepaya untuk kesehatan dibuktikan Bouchut secara ilmiah pada 125 tahun silam. Seperti dikutip Journal Society of Biology pada 1879, papain bersifat antitumor. Peran itu diemban oleh kandungan senyawa karpain, alkaloid bercincin laktonat dengan 7 kelompok rantai metilen. Dengan konfigurasi itu, tak hanya tumor dan penyakit kulit yang disembuhkannya. Karpain juga ampuh menghambat kinerja beberapa mikroorganisme. Karpain mencerna protein mikroorganisme dan mengubahnya menjadi senyawa turunan bernama pepton. Inang pun kekurangan makanan dan mati. Itulah yang terjadi pada Mycobacterium tuberculosis, penyebab penyakit TBC, virus disentri Komagome B III (Ichikawa), dan Typhoid bacilli, penyebab typus.

Ramsawamy dan Sirsi dalam Journal of Indian Pharmation membuktikan dosis 0,01% karpain dalam ethanol menghambat perkembangan lymphoid dan lymphosis leukemia. Jumlah senyawa karpain pada getah pepaya mencapai 0,4%. ?Selain tumor, karpain bisa menurunkan tekanan darah dan pacu jantung, ujar Sabari Sosrodiharjo, peneliti papain di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Departemen Pertanian. Itu sebabnya pengidap penyakit jantung mengasup 0,01 g/hari; hipertensi, 20 mg/hari karpain hidroklorida.

Papain juga terbukti menginaktifkan kinerja insulin seperti diteliti Wutzemann dan Livshis pada 1923. Berkat kandungan 11.6 % potasium benzylglucosinolate, ia mampu mengurangi gula darah sekaligus mempercepat penyembuhan luka. Kinerja itu dibantu oleh asam hidrosianik yang bersifat antiseptik. Papain pun mengandung 1,2% sulfur yang berfungsi mengobati penyakit kulit seperti jerawat, kutil, bekas luka, dan sebagai krim penghilang rambut.

b.2 Obat Cacing

Papain melemaskan cacing dengan cara merusak protein tubuh cacing. Dalam hal ini, bagian pepaya itu bekerja sebagai vermifuga.

Beberapa penelitian yang mendukung pemanfaatan pepaya sebagai obat anticacing di antaranya yang dilakukan secara in vitro oleh Atiyah. Dalam penelitiannya digunakan bahan berupa getah yang diperoleh dengan cara menyadap buah muda pepaya tanpa dipetik. Isolasi papain dilakukan dengan membiarkan getah dalam alkohol 80%, sehingga papain akan mengendap. Endapan papain dikeringkan dalam oven bersuhu 50 - 55oC selama enam jam. Uji terhadap Ascaris suilla dilakukan dengan merendam cacing pada larutan papain. Papain secara in vitro bekerja sebagai antelmentik pada dosis 600 mg.

Pemerikasaan efek antelmentik papain kasar terhadap cacing lambung (Haemoconthus contortus R.), secara in vivo pada domba jantan terinfeksi, dilakukan oleh Anita Ridayanti. Hasilnya menunjukkan, pemberian papain kasar sampai 0,6 g/kg bobot badan meyebabkan penurunan jumlah cacing dan telurnya.

Inong Nuraini, dari Jurusan Biologi FMIPA Unair, dalam penelitiannya membuktikan, secara in vitro pemberian 50% perasan daun pepaya gantung (Carica papaya), sudah menimbulkan efek kematian pada cacing hati sapi (Fasciola gegantica) setelah setengah jam. Bila lamanya mencapai dua jam, semua cacing yang direndam akan mati.
Sementara itu Elita Rahman, dari Jurusan Farmasi FMIPA USU, mencoba membandingkan khasiat antelmentik kulit batang delima putih (Punica granatum) dan perasan daun pepaya secara in vitro. Hasilnya, daun pepaya memepunyai khasiat antelmentik lebih kuat dari kulit batang delima putih pada konsentrasi 30%. Akan tetapi, dibandingkan dengan piperazuin sitrat 0,2%, khasiat kedua tanaman lebih lemah. Kedua tanaman bekerja sebagai vermifuga.

Untuk memanfaatkan biji pepaya sebagai obat anticacing diperlukan biji pepaya sebanyak 2 sendok makan, dicuci, dan digiling halus. Biji pepaya halus itu disedu dengan ½ cangkir air panas dan diberi 1 sendok makan madu. Setelah suam-suam kuku ramuan diminum 1 kali sehari selama 3 kali berturut-turut.

Kalau akar pepaya yang digunakan, diperlukan beberapa potong akar pepaya. Akar pepaya dibersihkan dan dilumat bersama dengan bawang putih, ditambah segelas air, kemudian didihkan sampai diperoleh ½ gelas air. Campuran disaring ke dalam gelas. Minum 2 kali sehari masing-masing ¼ gelas. Ramuan akar pepaya ini hanya untuk mengusir cacing kremi.

Sementara bila dipilih daunnya, penggunaannya dengan cara merebus daunnya dalam air mendidih lebih kurang selama 15 menit dan airnya diminum. Bagian daun pepaya yang diduga sebagai anticacing adalah carposide (karposit).

b.3 Penyembuh Luka

Selain karpain ada beberapa komponen organik dalam papain yang paling dibutuhkan dunia farmasi. Komponen itu adalah benzylglucosinolate, benzylisothiosianat (BITC), kolin, karpain, pseudokarpain, dan dehidrokarpain. BITC antibakteri dan anticendawan efektif sebagai penyembuh luka dan insektisida. Sedangkan kolin, stimulan untuk melunakkan otot-otot saraf.

b.4 Anti Disentri

b. 5 Antinyamuk

c. Kosmetik

c1. Penghalus wajah

Asam amino dalam getah pepaya menjadi bahan baku industri kosmetik untuk menghaluskan kulit, menguatkan jaringan agar lebih kenyal, dan menjaga gigi dari timbunan plak.

d. Kerajinan

Penyamak kulit dan bulu

Copyright © 2008 Article Colection. Allright Reserved.
Design by Rusiman.
Cacing Anisakis Sp
Jumat, Januari 22, 2010 | Author: ksatria_bontot

I. Identifikasi.

Merupakan penyakit parasit dari saluran pencernaan manusia biasanya ditandai dengan gejala sakit pada abdomen, kejang dan muntah, oleh karena mengkonsumsi makanan mentah atau ikan laut yang belum diolah, yang mengandung larva cacing ascaridoid. Larva yang motil bergerak menembus dinding lambung menimbulkan lesi atau ulkus akut disertai dengan mual, muntah dan sakit epigastrik, kadang disertai dengan hematemesis. Larva ini mungkin migrasi ke atas dan menempel di dinding orofaring dan menyebabkan batuk. Di usus halus, larva menimbulkan abses eosinofil, dengan gejala menyerupai apendisitis atau enteritis. Pada saat larva menembus masuk rongga peritoneal, jarang sekali mengenai usus besar.

Diagnosa dibuat dengan menemukan larva dengan panjang 2 cm yang masuk kedaerah orofaring atau dengan menemukan larva melalui pemeriksaan gastroskopik atau menemukan larva pada sampel jaringan yang diambil dengan cara pembedahan. Tes serologis sedang dalam pengembangan.

II. Penyebab penyakit.

Larva nematoda dari sub famili Anisakinae genera Anisakis dan Pseudoterranova.

III. Distribusi penyakit.

Penyakit menimpa orang yang mengkonsumsi ikan laut, gurita atau cumi mentah atau yang tidak ditangani dengan baik (dibekukan, diasinkan, direndam garam atau diasap). Kebiasaan makan ikan mentah ini umum terjadi di Jepang (sushi dan sashimi), Belanda (herring), Skandinavia (gravlax), dan di Pantai Pasifik dari Amerika Latin (ceviche). Lebih dari 12.000 kasus ditemukan di Jepang. Dahulu penyakit ini sering ditemukan di Belanda. Namun sekarang terlihat jumlah penderita bertambah hampir diseluruh Eropa Barat dan AS dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah.

IV. Reservoir.

Anisakinae tersebar luas di alam, tetapi hanya jenis tertentu saja yang menjadi parasit pada mamalia laut dan merupakan ancaman bagi manusia. Siklus hidup parasit ini dialam meliputi transmisi larva dari satu predator ke predator lain, yaitu dari crustacea yang dimakan oleh cumi, gurita atau ikan, lalu dimakan oleh mamalia laut sedangkan manusia sebagai hospes insidental.

V. Cara penularan

Larva infektif hidup di dalam mesenterium perut ikan; seringkali sesudah ikan mati larva pindah ke otot ikan. Ketika dimakan oleh manusia larva dilepaskan pada waktu dicerna dalam perut, larva bisa menembus mukosa lambung atau mukosa usus.

VI. Masa inkubasi

Gejala-gejala pada lambung bisa muncul dalam beberapa jam sesudah menelan larva infektif. Gejala pada usus besar dan usus halus muncul dalam beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung dari jumlah, besar dan lokasi larva.

VII. Masa penularan

Penularan langsung dari orang ke orang tidak terjadi.

VIII. Kerentanan dan Kekebalan : Setiap orang rentan terhadap penyakit ini.

IX. Cara - cara pemberantasan.

A. Tindakan pencegahan :

1. Hindari mengkonsumsi ikan laut yang tidak dimasak dengan baik. Panaskan ikan laut hingga 60 ºC(140 ºF) selama 10 menit, bekukan hingga – 35 ºC (-31ºF) atau lebih rendah selama 15 jam atau bekukan dengan cara biasa pada – 23ºC (-10ºF) selama paling tidak 7 hari, cara ini akan membunuh larva. Cara pengendalian yang dikembangkan akhir-akhir ini dilaksanakan dengan sukses di Belanda. Irradiasi efektif membunuh parasit.

2. Membersihkan dan membuang usus (eviscerasi) ikan secepat mungkin sesudah ditangkap dapat mengurangi jumlah larva yang masuk ke dalam otot mesenterik.

3. Penerangan dengan lilin direkomendasikan untuk menerangi produk ikan dimana dengan penerangan ini parasit bisa dilihat.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.

1. Laporan pada instansi kesehatan setempat : tidak dianjurkan, Kelas 5 (lihat Tentang pelaporan penyakit menular). Namun perlu dilaporkan jika ditemukan satu kasus atau lebih di daerah yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan ada kasus, atau didaerah dimana tindakan pengendalian sedang berlangsung, kasus yang ditemukan sebaiknya dilaporkan.

2. Isolasi : tidak diperlukan .

3. Disinfeksi serentak : tidak diperlukan.

4. Karantina : tidak diperlukan.

5. Imunisasi kontak : tidak diperlukan

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak ada.

7. Pengobatan spesifik : menghilangkan larva dengan cara gastroskopik, eksisi dari luka.

C. Penanggulangan wabah : tidak ada.

D. Implikasi bencana : tidak ada.

E. Tindakan internasional : tidak ada.

Copyright © 2005 Ditjen Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan - Departemen Kesehatan R.I.

musim - musim angin di perairan Kep seribu
Jumat, Januari 22, 2010 | Author: ksatria_bontot

Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah di Jakarta yang memiliki kekayaan dan aneka ragam hayati laut. Makanya, bagi yang hobi memancing, sudah tak asing lagi dengan Kepulauan Seribu yang kaya akan berbagai jenis ikannya. Sayangnya, tak semua keanekaragaman hayati tersebut dapat ditemui dalam waktu bersamaan. Ada saat-saat tertentu dimana beberapa jenis ikan akan muncul.

Kemunculan ikan-ikan ini dipengaruhi faktor angin yang biasa berhembus di laut. Berdasarkan perhitungan para nelayan, ada beberapa musim angin yang bagus untuk melaut dan ada beberapa musim yang baiknya tidak melaut. Informasi ini, diharapkan bisa menjadi referensi bagi para pemancing sebelum bertolak ke Kepulauan Seribu.

Musim Daya Laut
Merupakan musim yang baik untuk memancing atau bagi nelayan baik untuk melaut. Karena pada musim daya laut yang terjadi sekitar Oktober-November, kondisi alam cukup bersahabat. Tiupan angin yang tidak begitu kencang dengan ombak yang tenang sangat cocok untuk mencari ikan di laut. Pada musim ini, biasanya sejumlah ikan seperti Ikan Manyang, Kembung, Selar, Teri, dan Tongkol sangat mudah ditemui.

Musim Barat Daya
Biasanya pada musim ini, angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang (badai), warga setempat menyebutnya dengan istilah angin barat daya. Kondisi ini tentu diperparah dengan ombak laut yang cukup ganas serta badai angin. Musim ini biasanya terjadi sekitar awal tahun baru, yaitu bulan November-Januari.

Nelayan setempat, meyebut musim ini sebagai musim “paceklik” karena banyak nelayan kepulauan seribu yang tidak berani melaut. Pada musim ini, nyaris seluruh perairan seperti tidak ada ikannya. Untuk itu, jika memaksa memancing pada musim ini siap-siap saja gigit jari.

Musim Timur
Pada musim ini biasanya terjadi mulai Juni-Agustus. Musim timur, biasanya angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar. Pada musim ini, ketinggian gelombang bisa mencapai 1-2 meter. Karena gelombang tinggi, beberapa nelayan menjalankan aktifitasnya pada malam hari dnegan alat pancing.

Musim Tenggara
Musim ini merupakan musim yang paling dibenci para warga Kepulauan Seribu, karena saat ini biasanya beberapa perairan dipenuhi beragam sampai dari daratan. Tak heran, masyarakat setempat menyebut musim tenggara dengan musim sampah. Mengikuti arah angin tenggara, beberapa sampah mulai sampah rumah tangga hingga limbah pabrik memenuhi pesisir dari daratan Jakarta dan Tangerang.Musim ini terjadi sepanjang bulan Mei.

Musim Ikan Tongkol
Ikan tongkol merupakan jenis pelagis yang melakukan migrasi melintasi perairan laut jawa. Musim migrasi terjadi pada bulan Oktober hingga April. Pada masa ini nelayan panen ikan tongkol dalam jumlah besar. Sayangnya, melimpahnya jumlah ikan tongkol pada musim ini mengakibatkan harga menjadi turun, ditambah pembeli yang terbatas.

Musim Ikan Tenggiri
Ikan ini juga merupakan jenis pelagis yang menjadi primadona nelayan karena harga jual yang tinggi. Ikan ini banyak dijumpai diperairan Kepulauan Seribu pada bulan-bulan November dan Desember

enjoypulauseribu.com
Planktonologi
Rabu, Agustus 05, 2009 | Author: ksatria_bontot





COPEPODA


I. Pendahuluan

Zooplankton merupakan plankton hewani yang menjadi konsumen utama fitoplankton (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Selanjutnya dinyatakan meskipun jumlah, jenis, dan kepadatannya lebih rendah dari fitoplankton, zooplankton membentuk kelompok yang lebih beranekaragam. Setidak-tidaknya ada sembilan filum yang mewakili kelompok zooplankton ini dan ukurannya sangat beragam, dari yang sangat kecil atau renik sampai yang garis tengahnya lebih dari 1 mikron.

Menurut Basmi (1997), zooplankton dapat diklasifikasikan berdasarkan lama hidupnya sebagai plankton. Yang pertama adalah holoplankton (plankton permanen) yakni organisme yang hidup sebagai plankton selama hidupnya. Yang kedua adalah meroplankton (plankton temporer) yakni organisme yang hidup sebagai plankton hanya sebagian dari siklus hidupnya, seperti selama masa telur atau fase larva.

Bagian terbesar dari zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustacea. Selain Copepoda yang sangat dominan, dalam krustasea holoplanktonik juga terdapat anggota-anggota ordo Cladocera, subklas Ostracoda, ordo Mysidacea, ordo Amphipoda, ordo Euphausiacea, dan ordo Decapoda. Kebanyakan krustasea yang disebutkan ini adalah hewan-hewan holoplankton yang kecil. Zooplankton makan dengan cara menyaring fitoplankton dan atau hewan-hewan kecil dari air (Nybakken, 1988).

Diantara mikrozooplankton yang di laut, grup-grup penting di dalam jaring makanan adalah dari dinoflagellata, cilliata dan nauplius copepoda. Hasil penelitian Beers dan Stewart (1969) dalam Omori dan Ikada (1976) terhadap mikrozooplankton di perairan lepas pantai San Diego pada kolom air 100 m di bawah permukaan, didapatkan bahwa 60% dari total jumlah individu adalah cilliata, yang umumnya berukuran ± 103 µm didominasi (lebih dari 50%) oleh potnauplius copepoda.

Dari individu net plankton yang terdapat pada sebagian perairan adalah jenis-jenis dari copepoda. Menurut Basmi (1997), copepoda net plankton umumnya adalah taksa yang melimpah sepanjang tahun lebih dari 80%, tetapi di perairan pantai dan inlet-jumlah individu cepat bertambah jumlahnya yang reproduksinya dengan cara partenogenesis, juga larva crustacea decapoda pada musim-musim tertentu amat padat.

Copepoda adalah grup crustacea kecil yang dapat ditemui di laut dan hampir di semua habitat air tawar dan mereka membentuk sumber terbesar protein di samudra. Banyak spesies adalah plankton, tetapi banyak juga spesies benthos dan beberapa spesies kontinental dapat hidup di habitat limno-terestrial dan lainnya di tempat terestrial basah, seperti rawa-rawa. Copepoda merupakan kelompok zooplankton yang memegang peranan penting dalam rantai makanan pada suatu ekosistem perairan. Copepoda memiliki peran penting pada rantai makanan di lautan karena peranannya sebagai sumber makanan utama bagi karnivor, termasuk jenis-jenis ikan untuk kepentingan komersial (Pechenik, 2000). Dalam industri pembenihan ikan laut dewasa ini, copepoda mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami untuk larva ikan. Copepoda cocok sebagai pakan larva ikan karena selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi juga karena ukuran tubuh yang bervariasi sehingga sesuai tingkat perkembangan larva ikan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa copepoda dapat meningkatkan pertumbuhan larva ikan laut yang lebih cepat dibandingkan rotifer dan Artemia (Lavens dan Sorgelos, 1996).

Copepoda kaya akan protein, lemak, asam amino esensial yang dapat mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan. Keunggulan copepoda juga telah diakui oleh beberapa peneliti lain, karena kandungan DHA-nya yang tinggi, dapat menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan larva. Copepoda juga mempunyai kandungan lemak polar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Artemia sehingga dapat menghasilkan pigmentasi yang lebih baik bagi larva ikan (Mcevoy dkk., 1998 dalam Umar, 2002). Beberapa jenis Copepoda telah dikembangkan untuk dibudidayakan khususnya di manca negara. Copepoda tersebut termasuk kelompok harpacticoid dan calanoid. Calanoida merupakan copepoda yang jumlahnya paling banyak di lingkungan pelagis baik di laut maupun air tawar (Bradford-Grieve, 2002). Perairan Indonesia kaya akan kehadiran berbagai jenis copepoda, memiliki peluang besar untuk memilih jenis pakan hidup yang unggul sebagai pakan alternatif atau pengganti Artemia yang saat ini harganya kian melambung.

Menurut Sutomo (2003), copepoda laut jenis Tigriopus brevicornis, dapat hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas yakni mulai dari 10 sampai 40 ppt, namun pada salinitas 10 ppt tidak didapatkan copepoda yang bertelur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa copepoda dapat dikultur di air laut dengan salinitas 25-30 ppt (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Menurut Anindiastuti dkk. (2002), untuk mengkultur copepoda pada skala laboratorium sebaiknya menggunakan air laut yang steril bersalinitas 25 ppt. Sementara itu copepoda di perairan umum dapat hidup pada salinitas antara 26,50 dan 35,67 ppt (Levinton, 1982 dalam Umar, 2002). Dengan demikian, salinitas yang optimum untuk perkembangan copepoda laut belum diketahui secara pasti.

Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter (Boyd, 1990 dalam Faidar, 2005). Menurut Hutabarat dan Evans (1984), salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Salinitas diduga berpengaruh terhadap perkembangan copepoda, makanya perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Selain itu lebih dari 2000 jenis Copepoda dilaporkan hidup sebagai parasit. Biota tersebut biasanya berasosiasi dengan spong, Coelenterata, cacing-cacing Polychaeta, Moluska, Echinodermata dan vertebrata air. Menurut MC LUGHLIN (1980), Copepoda yang hidupnya sebagai parasit ada 4 bangsa yaitu Notodelphyoida, Monstrilloida, Siphonostomatoida dan Poecilostomatoida. Bentuk badan dari parasit Copepoda sangat bervariasi.

II. Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Secara taksonomi copepoda termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthtropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Maxillopoda

Subkelas : Copepoda

Superordo : Gymnoplea (Giesbrecht 1882)

Ordo : Calanoida (Sars 1903)

Sumber : http://www.uni-oldenburg.de/monoculus

Morfologi dari kelompok ini, umunya pipih memanjang, kaki pendek Bentuk dewasa mempunyai sebuah alat penginderaan pertama yaitu antena yang tersusun dari banyak segmen. Sedangkan antena kedua berfungsi untuk memegang. Pada daerah oral tubuh, dari beberapa kelompok yang termasuk parasit Copepoda termodifikasi sebagai mulut yang berbentuk pipa (mouth-tube) yang berfungsi untuk menyedot makanan, dengan mandibula berbentuk seperti parutan dibagian dalamnya.

Adaptasi secara morfologis yang terjadi pada parasite Copepoda berupa tambahan Cephalothorax yang kompleks pipih memanjang dan bagian ventral cembung dengan sebuah lempeng penghisap (sucking disc). Selain itu ada yang mempunyai struktur seperti jangkar, berfungsi untuk menjaga parasit agar tetap menempel pada hospes selama hidupnya. Contohnya pada Lernaecopodidae dan bangsa siphonostomatoida.

Copepoda merupakan krustacea yang sangat banyak dijumpai diantara fitoplankton dan pada tingkat tropik yang tinggi pada ekosisitem. Copepoda dewasa berukuran antara 1 dan 5 mm. Tubuh copepoda berbentuk silindrikonikal, dimana anterior lebih lebar. Bagian depan meliputi 2 bagian yakni cephalotoraks (kepala dengan toraks dan segmen toraks ke enam) dan abdomen yang lebih kecil dibandingkan cephalotoraks. Pada bagian kepala memiliki mata di bagian tengah dan antenna yang pada umumnya sangat panjang. Copepoda yang bersifat planktonik pada umumnya suspension feeders (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

III. Tiga Ordo penting pada Copepoda

a) Harpaticoida

Copepoda yang sangat kecil, dengan antenna yang pendek

Abdomen tidak dapat dibedakan dengan toraks.

Panjangnya tidak lebih dari1mm, sebagian besar spesies berukuran lebih kecil lagi.

b) Calanoida

Antena panjang (sedikit sama panjangnya dengan abdomen, dan memiliki 16-25 segmen).

Abdomen dimulai dari toraks.

Panjangnya mencapai 1½-2½ mm ketika mencapai dewasa.

c) Cyclopida

Antena lebih pendek daripada Calanoida.

Abdomen ditandai dari toraks, kecuali pada Copepoda parasit.

Panjangnya sekitar ½-3 mm.

IV. Siklus hidup


Copepoda jantan pada umumnya lebih kecil dibandingkan copepoda betina. Selama melakukan reproduksi atau kopulasi, organ jantan berhubungan dengan betina dengan adanya peranan antena, dan meletakkan spermatopora pada bukaan seminal, yang dilekatkan oleh lem semen khusus. Telur-telur umumnya lebih dekat ke bagian kantung telur (ovisac) . Telur - telur ditetaskan sebagai nauplii dan setelah melewati 5-6 fase nauplii (molting), larva akan menjadi copepodit. Setelah copepodit kelima, akan molting lagi menjadi lebih dewasa. Sebagian besar Copepoda mengalami tingkatan hidup bebas selama pergantian kulit (molting) sampai tingkat infektif yang belum dewasa. Perkembangan ini membutuhkan waktu tidak kurang dari satu minggu hingga satu tahun, dan kehidupan copepoda berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun (Lavens dan Sorgeloos, 1996). Dalam satu siklus hidup copepoda memerlukan waktu selama kurang lebih 6-7 hari (Anindiastuti dkk., 2002).

Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup, copepoda akan memproduksi cangkang atau telur dormant (istirahat) seperti halnya kista. Hal ini juga menyebabkan tingkat survival berlangsung dengan baik walapun kondisi lingkungan tidak mendukung contohnya pada suhu dingin (Lavens dan Sorgeloos, 1996).

V. Kandungan nutrisi

Pada umumnya kualitas nutrisi copepoda dapat diterima dengan baik oleh larva-larva ikan laut, dan dipercaya lebih memiliki kualitas nutrisi yang tinggi dibandingkan Artemia. Copepoda memiliki kandungan protein yang tinggi (antara 44 dan 52%) dan struktur asam amino yang baik kecuali metionin dan histidin. Komposisi asam lemak dari copepoda bervariasi tergantung pakan yang diberikan selama kegiatan budidaya (Lavens dan Sorgeloos, 1996)

Fase nauplius:

· 3,5% EPA; 9% DHA; 15% HUFA(n-3)

Fase dewasa:

· Pakan Dunaliella(6% EPA; 17% DHA)

· Pakan Rhodomonas (18% EPA; 32% DHA)

Copepoda (copepodit dan copepoda dewasa) juga dipercaya memiliki level enzim pencernaan yang lebih tinggi dan berperan penting untuk menunjang kebutuhan nutrisi larva. Padahal pada fase awal dari larva ikan-ikan laut belum memiliki perkembangan pada sistem pencernaan dan yang lebih dipercaya berperan hanyalah cadangan makanan exogenous (pakan dari luar) sebagai cadangan makanan alami untuk organisme. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pederson (1984 dalam Lavens dan Sorgeloos, 1996), yang menguji pencernaan pada awal pemeliharaan larva, dan ditemukan bahwa copepoda lebih cepat tercerna dan cepat melewati usus serta lebih bagus tercerna dibandingkan Artemia.

VI. Karakteristik habitat

Copepoda jenis Tigriopus brevicornis (merupakan jenis copepoda yang hidup di air laut), dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas yakni 10-40 ppt. Pada salinitas 10 ppt, proses pertumbuhan dan reproduksi copepoda tersebut terhambat dan mortalitas cukup tinggi pada tahap awal adaptasi. Proses penghambatan tersebut disebabkan adanya proses osmoregulasi copepoda terhadap salinitas baik salinitas rendah maupun tinggi. Pada salinitas 20 dan 30 ppt, memperlihatkan pertumbuhan copepoda yang cukup baik, tetapi salinitas yang paling baik untuk tumbuh dan berkembang adalah 30 ppt (Sutomo, 2003). Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996), salinitas yang layak bagi pertumbuhan copepoda dalam kegiatan budidaya adalah 35 ppt, tetapi mampu mentolerir salinitas antara 15 dan 70 ppt. Sejalan dengan pendapat Marcus dan Wilcox (2007), bahwa salinitas yang sesuai untuk perkembangan dan pertumbuhan copepoda 35 ppt.

Copepoda tidak mampu mentolerir perubahan suhu lingkungan yang ekstrim tetapi mampu hidup pada kondisi yang intensif antara 17 dan 30ºC, dan suhu yang optimal untuk tumbuh adalah berkisar antara 16 dan 18ºC. Media kultur yang baik bagi copepoda pada skala laboratorium adalah air laut steril yang bersalinitas 25 ppt dengan suhu ruangan 25ºC dan pH 8,0 (Anindiastuti dkk., 2002). Menurut Lavens dkk (1991), stok kultur copepoda sebaiknya dipelihara pada air laut yang bersalinitas 28 ppt dengan suhu antara 20 dan 21ºC pada ruangan yang terkontrol.

Menurut Uye (1980 dalam Lee dkk., 2005) bahwa masa hidup copepoda (Acartia clausa) yang menggunakan lumpur sebagai sedimen mencapai sekitar 100 sampai 165 hari dengan suhu 5ºC dan tanpa sedimen dengan suhu 20ºC, masa hidupnya hanya sekitar 70 sampai 75 hari.

VII. Kultur Copepoda

a. Kelebihan Copepoda

Kandungan protein yang tinggi(44-52%)

Kandungan asam amino yang tinggi :

- Meningkatkan daya reproduksi induk, mempercepat pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh serta mencerahkan warna pada udang dan ikan.

- Kandungan EFA (Essential fatty acid), DHA , serta (n-3) HUFA (highly unsaturated fatty acid) sangat tinggi pada tahap nauplii →dipengaruhi juga pada pakan yang diberi

- Menyokong perkembangan mata dan meningkatkan derajat kelulushidupan yang lebih baik bagi larva.

Lebih mudah untuk dicerna dibanding Artemia

Dapat didistribusikan dalam berbagai tahap hidup (nauplii atau copepodit) sesuai kebutuhan

b. Kekurangan Copepoda

Sulit untuk diproduksi secara masal → terkait dengan siklus hidup

VIII. Gambar Variasi Bentuk Copepoda

Waduk Cirata
Selasa, Agustus 04, 2009 | Author: ksatria_bontot

Pengelolaan Waduk Cirata

Sejarah singkat

Waduk Cirata merupakan salah satu danau buatan (man made lake) yang terdapat di Indonesia. Waduk yang dibangun dengan cara membendung sungai Citarum serta mengakibatkan terendamnya lahan pertanian dan rumah penduduk seluas ± 6.200 hektare, menjadikan perubahan ekosistem dari ekosistem daratan serta ekosistem perairan mengalir (lentic) menjadi ekosistem perairan tergenang (lotic) dengan volume air maksimum sebanyak ± 2165 juta meter kubik. Pembangunan Waduk dengan luas 43.777,6 ha yang terdiri dari 37.577,6 ha wilayah daratan dan 6.200 ha wilayah perairan direalisasikan 19 Mei 1984. Melalui serangkaian prosedur, warga puluhan desa di Cianjur, Purwakarta, dan Bandung harus pergi meninggalkan tanah kelahiran. Pada 1 September 1987, desa-desa yang terkena proyek waduk mulai terhapus dari peta saat air Sungai Citarum dan Cisokan mulai menggenangi Cirata. Sebanyak ± 6.335 keluarga harus merelakan tanah kelahiran mereka menjadi genangan air. Terdapat pula ± 3.766 keluarga lain yang terpengaruh proyek. Warga yang terpengaruh langsung dan tidak langsung itu sebagian besar memilih kegiatan ekonomi baru. Sebagian kecil ikut transmigrasi dan kegiatan ekonomi terarah. Perubahan ekosistem tersebut membawa banyak perubahan dalam kehidupan penduduk yang terkena dampak proyek pembangunan waduk. Genangan waduk tersebut tersebar di 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Kabupaten Bandung. Genangan air terluas terdapat di Kabupaten Cianjur.

Pada awalnya pembangunan waduk Cirata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa-Bali, namun seiring berjalannya waktu kegiatan perekonomian baru mulai tumbuh hingga saat ini. Berkat adanya proyek pembangunan 3 waduk salah satunya Cirata yang multifungsi, masyarakat luas dapat merasakan manfaat sungai citarum yang berhulu digunung wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di Laut Jawa Kabupaten Karawang setelah melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang. Potensi sumber daya air yang demikian besar di Sungai Citarum telah memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan warga Jawa Barat termasuk DKI Jakarta dan Indonesia pada umumnya melalui sumber daya listrik yang dihasilkan dari 3 PLTA yang salah satunya PLTA waduk Cirata.

Pengelolaan waduk Cirata

Ø Permasalahan yang timbul

Krisis ekonomi global yang melanda negara-negara didunia membuat pemerintah Indonesia berpikir keras dalam mencari sumber-sumber pemasukan negara. Pencarian sumber-sumber penerimaan negara di atas salah satunya adalah program optimalisasi sumber daya lahan, baik lahan daratan atau perairan. Upaya optimalisasi sumber daya perairan terus digalakkan mengingat bahwa Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang kaya dan potensial. Melalui Direktorat Jenderal Perikanan, telah dicanangkan Gema Protekan 2003 dalam rangka meningkatkan perolehan pendapatan negara guna mengatasi krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Dalam rangka mendukung pelaksanaan program ini, teknologi keramba jaring apung memiliki prospek yang cerah untuk peningkatan produksi ikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Teknologi budidaya jaring apung sudah mulai diaplikasikan di waduk Cirata pada tahun 1986. Tujuan awal pengembangan jaring apung di waduk Cirata adalah memberikan lapangan kerja baru bagi penduduk yang terkena proyek pembangunan PLTA tersebut. Perkembangan jumlah keramba jaring apung pada tahun 1999 di waduk Cirata (28.739 unit) sudah melebihi dari tingkat yang direkomendasikan oleh UPTD Kabupaten Cianjur (6200 unit).

Perkembangan ini menggambarkan akan beberapa hal diantaranya adalah :

a) Tingginya antusias masyarakat untuk mengelola keramba jaring apung,

b) Tingginya lapangan kerja yang tersedia bagi usaha ini,

c) Semakin beratnya daya dukung waduk dan lingkungan dan

d) Dalam jangka panjang dikhawatirkan nilai guna waduk menjadi menurun dan usaha perikanan tidak berjalan dalam jangka panjang.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa usaha keramba jaring apung di waduk Cirata sudah tidak layak lagi baik secara lingkungan maupun sosial. Penggunaan waduk dengan jumlah keramba jaring apung yang melebihi batas yang direkomendasikan (telah melebihi daya dukung waduk dan kelestarian lingkungan) merupakan salah satu penyebab permasalahan yang muncul didalam usaha KJA pada waduk Cirata. Terus bertambahnya KJA diwaduk Cirata menyebabkan Penurunan kualitas air yang akan memicu pertumbuhan Virus, Bakteri dan Blooming plankton melalui proses eutrofikasi badan air. Sisa - sisa pakan berlebih dari setiap KJA juga dapat mengakibatkan sedimentasi pada dasar waduk atau dengan kata lain dapat dikatakan faktor yang memperpendek usia waduk.

Kematian massal yang sempat melanda dan melumpuhkan usaha budidaya KJA waduk Cirata pada tahun 2002-2005 akibat serangan Koi Virus Herpes (KHV) yang menyebar dari Pembudidaya ikan Koi. Hal ini merupakan sebuah gambaran bahwa kondisi waduk sudah mengalami kerusakan, Penurunan Kualitas air Menyebabkan daya tahan ikan menurun sehingga lebih mudah terserang penyakit. Umumnya pada perairan-perairan yang dalam dan arusnya relatif tenang sering ditemukan adanya stratifikasi suhu, mulai dari lapisan suhu yang rendah sampai lapisan suhu yang agak tinggi. Apabila pada bagian permukaan terjadi penurunan suhu yang mendadak, suhu air pun praktis turun sampai di kedalaman tertentu. Pada situasi demikian terjadi pembalikan massa air, yaitu bagian atas bergerak ke bawah dan bagian bawah naik ke permukaan. Kondisi ini semakin dipercepat apabila disertai datangnya angin. Hal ini sempat terjadi pada tahun 2002 keatas. Proses pembalikan masa air itulah yang sering disebut arus balik atau umbalan. Segala nutrien yang membahayakan, seperti NH3, H2S sebagai hasil penguraian dari sisa-sisa pakan dan kotoran yang mengendap akan turut terangkat ke permukaan, membentuk umbalan air berwarna hitam pekat, berbau serta meracuni ikan-ikan budidaya. Pembalikan massa air umumnya terjadi pada saat memasuki awal musim penghujan.

Bukan hanya itu saja, rusaknya lingkungan sekitar DAS Citarum juga membawa dampak buruk terhadap kualitas air waduk Cirata. Penebangan hutan di bagian hulu atau alih fungsi hutan gunung wayang menjadi lahan pertanian serta meningkatnya buangan limbah industri dan rumah tangga semakin memperparah kondisi waduk Cirata. Tingginya intensitas limbah logam berat industri yang masuk ke waduk Cirata melalui DAS Citarum, sempat menjadi penyebab kematian massal ikan-ikan budidaya di waduk Cirata. Limbah logam berat yang masuk ke waduk juga mengakibatkan peningkatan korosi laju turbin PLTA sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan turbin. Datangnya musim melaut, tingkat kesukaan masyarakat rendah dan mahalnya harga pakan menjadi salah satu kendala yang sering dihadapi oleh pembudidaya.

keindahan panorama alam waduk Cirata menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mengembangkan potensi pariwisata selain potensi perikanan yang dimiliki. Pembangunan fasilitas penunjang dan pertunjukan kesenian tradisional maupun modern diupayakan untuk menambah daya tarik wisatawan.

Ø Berbagai upaya yang dilakukan menghadapi masalah yang terjadi

Kegiatan budidaya di waduk Cirata akan terus di upayakan karena waduk Cirata merupakan salah satu daerah produksi ikan-ikan air tawar, sekitar 30 % ikan - ikan air tawar di wilayah Jawa Barat berasal dari waduk Cirata. Hingga saat ini kematian massal belum merupakan masalah yang besar, walaupun angka kematian massal meningkat setiap tahunnya. Peningkatan angka kematian massal masih berbanding lurus dengan keuntungan sehingga pembudidaya masih tetap mendapat keuntungan.

Selain kegiatan budidaya di waduk Cirata juga terdapat kegiatan perikanan tangkap. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh penduduk yang tidak memiliki modal membangun KJA, untuk menjaga keseimbangan ekosistem waduk akibat kegiatan penangkapan dan sebagai kontrol terhadap kualitas air dilakukan restocking menggunakan ikan grass carp, oreochromis niloticus dan mola. Kegiatan penangkapan hanya boleh dilakukan dengan menggunakan jaring dengan mesh size > 4 Inc.

Tidak hanya melakukan restocking, pemerintah melalui UPTD perikanan memberikan Penyuluhan dan pelatihan teknik budidaya kepada pembudidaya. Bersama kelompok tani (Perpic / Persatuan petambak ikan Cianjur) membuat forum mengenai masalah yang sedang marak dalam kegiatan budidaya KJA di waduk Cirata seperti : penurunan harga jual atau kematian massal. kegiatan monitoring air setiap 3 bulan sekali yang dilakukan BPWC (Badan Pengelola Waduk Cirata).

Pada umumnya kontruksi KJA menggunakan rangka besi, dengan drum sebagai pelampung. Namun ada beberapa KJA yang mengganti drum dengan tumpukan – tumpukan stereofoam, dikarenakan mahalnya harga drum besi. Luasan KJA 1 petak = 7x7 meter dengan luas jaring 200 meter kedalaman 7 meter. Jaring terdiri dari 2 lapisan hal ini ditujukan untuk mengurangi pengendapan pakan terbuang. Drum yang paling bagus digunakan sebagai pelampung KJA, yaitu drum bekas oli karena tidak mudah rusak. Setiap 2 tahun sekali dilakukan perbaikan jaring dan pengecatan drum.

Jaring yang digunakan model jaring kolor yang memiliki 2 lapisan, pada lapisan pertama atau atas diisi oleh ikan mas kemudian dilapisan kedua diisi oleh ikan nila. Ketika panen tiba pembudidaya ada yang memasarkan produk sendiri atau bandar datang langsung.

Ø Pengelolaan waduk Cirata dan waduk Darma

Pengelolaan yang dilakukan di waduk Cirata tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan di waduk darma. Fungsi kedua waduk pun tidak jauh berbeda hanya saja waduk darma tidak digunakan untuk PLTA. Pola budidaya perikanan yang diterapkan juga tidak jauh berbeda sama-sama menggunakan pola jaring terapung.

Walaupun dari pengelolaan dan fungsi hampir banyak kesamaan tapi budidaya perikanan di waduk darma tidak seperti budidaya perikanan di Cirata yang tidak bergantung pada musim. Saat musim kemarau tiba budidaya ikan di waduk darma biasanya dihentikan (Produksi ikan menurun) karena waduk darma mengalami kekeringan, sebaliknya saat musim hujan mulai datang pembudidaya mulai produksi ikan dengan menyiapkan KJA mereka kembali. Sedangkan di waduk Cirata yang tergolong waduk berukuran besar memiliki debit air yang relatif stabil, walaupun musim kemarau datang kegiatan budidaya tetap berjalan. Saat ini kondisi waduk sama – sama mulai memprihatinkan akibat kurangnya tingkat kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.