Waduk Dharma-Kuningan
Selasa, Agustus 04, 2009 | Author: ksatria_bontot

Bab I

Pendahuluan

I.1 Definisi danau atau waduk

Danau/situ/waduk/embung adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air danau/waduk digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum air irigasi, pembangkit listrik, penggelontoran, perikanan dsb. Jadi betapa pentingnya air tawar yang berasal dari waduk/danau bagi kehidupan.

Di Indonesia terdapat kurang lebih danau kategori besar > 50 ha sebanyak 500 buah. Danau tersebut tersebar merata di setiap pulau besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Papua) kecuali Pulau Bali. Sebaliknya waduk besar sebagian besar berlokasi di P.Jawa. Selain kategori danau besar terdapat juga danau kecil yang jumlahnya ribuan dan waduk kecil yang disebut embung. Danau kecil sering dikenal sebagai situ berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438 buah situ.

Danau yang terbesar adalah Danau Toba yang terletak 905 meter dpl, panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dan kedalaman maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba merupakan danau terdalam kesembilan di dunia dan merupakan danau tipe vulkanik kaldera yang terbesar di dunia. Danau yang terdalam di Indonesia adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan kedalaman maksimum 590 m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia (Bemmelen 1949 dalam Lehmusloto et.al, 1995).

Pada umumnya kedalaman danau bervariasi antara 50 – 200 m, akan tetapi banyak juga yang mempunyai kedalaman lebih rendah dari 50 m. Sampai saat ini sebagaian besar dari danau belum diketahui volumenya dengan pasti, demikian juga halnya presipitasi, evaporasinya serta debit inflow dan outflow-nya. Dengan demikian waktu tinggal air danau tidak diketahui sehingga daya tampung beban pencemaran tidak diketahui dan sekaligus pemanfaatan bagi berbagai keperluan sulit untuk diprogramkan.

Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Menurut Komisi Dam Dunia Bendungan/Waduk besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang 15 m. Embung banyak dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100 buah. Dan sebagian besar 80% berlokasi di P.Jawa. Sejak terjadi krisis moneter pada tahun 1998, pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan lagi kecuali perencanaan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat.

Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/out flow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk/embung diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, penggelontoran, air perikanan, tempat parawista. Jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total dari kebutuhan nasional.

I.2 Penelitian danau atau waduk di Indonesia

I.2.a Periode 1970-1980

Penelitian kualitas air waduk yang dilakukan Puslitbang Sumber Daya Air sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Jumlah waduk yang diteliti tidak banyak mengingat waduk yang sudah selesai dibangun pada periode tersebut juga tidak banyak. Waduk yang sudah terbangun pada priode tersebut adalah Waduk Darma, Jatiluhur di Jawa Barat Karangkates di Jawa Timur (1972). Penelitian kualitas air waduk dilakukan terhadap waduk yang baru beroperasi digenangi dan waduk yang sudah lama beroperasi. Berdasarkan hasil penelitian pada periode tersebut kondisi kualitas air waduk masih bagus baik pada lapisan epilimnion dan hypolimnion.atau dengan kata lain masih tercemar ringan. Hal ini kita dapat mengerti oleh karena penduduk, industri, perambahan hutan belum banyak sehingga limbahnya masih dapat dibersihkan oleh sungai atau waduk itu sendiri (self purification).

I.2.b Periode 1980 – 1995

Penelitian kualitas air waduk awal tahun 80-an dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air dan hasilnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan tahun periode 70-an. Akan tetapi penelitian kualitas air waduk yang dilakukan pada 90-an bersama Pemerintah Filandia hasilnya mengalami perubahan dibandingkan dengan hasil tahun 80-an. Hasil penelitian kualitas air waduk 90-an menunjukkan bahwa kualitas airnya sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk tersebut disebabkan oleh pencemaran organik terutama senyawa nitrogen dan posfat yang berasal dari air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan KJA. Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, posfat, dan zat organik dapat dibagi 3 kategori yaitu: pencemaran amat sangat berat (hypertrophic = penyuburan amat sangat berat), pencemaran berat (eutrophic = penyuburan berat), dan pencemaran sedang (oligotrophic = penyuburan sedang), dan mesotrophic (belum tercemar). Waduk yang masuk tingkat eutrophic adalah Waduk Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor, Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain.

I.2.c Periode 1996 – 2010

Pada periode tersebut penelitian kualitas air waduk baru dimulai pada tahun 2004. Pada tahun 2004-2005 penelitian baru dilakukan pada waduk di P. Jawa sebanyak 10 waduk terutama waduk yang mengalami pencemaran yang amat sangat berat dan berat. Dari penelitian terlihat bahwa pencemaran waduk makin berat dibandingkan dengan sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu <>epilimnion (lapisan dengan sinar matahari dapat tembus sampai kedalaman tsb.). Selain itu kualitas airnya telah tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri, air irigasi. Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah waduk Karangkates sehingga sering terjadi algal bloom. Dampak algal bloom tersebut air waduk Karangkates mulai berwarna hijau pekat kemudian berubah menjadi coklat, ikan mati, timbul bau busuk, Mesin-mesin PLTA makin cepat terkorosi. Pencemaran di Waduk Karangkates yang menyebabkan terjadi algal bloom adalah limbah penduduk, peternakan, pertanian. Dampak yang paling serius dari algal bloom pada waduk adalah adanya produksi toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.

Selain pencemaran kimia, juga terjadi pencemaran fisik, yaitu sedimentasi yang berat kepada waduk. Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan prinsip – prinsip konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut diatas juga disebabkan oleh perubahan tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk serta kepadatan penduduk. Sebagai contoh akibat kemiskinan dan perambahan hutan adalah di hulu Kali Brantas yaitu pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997, hutan di hulu Kali Brantas hampir 70% habis dijarah oleh penduduk.

Waduk yang mengalami tingkat sedimentasi yang tinggi adalah Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DPS Citarum Tengah, Waduk Bili-bili di Sulawesi Selatan serta lainnya.

I.3 Pengelolaan danau dan waduk

Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang SumberDaya Air, yang terdiri 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk embung, situ dan danau yang merupakan sumber daya air telah banyak banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolan waduk/danau yang banyak mengalami kendala. Dalam UU-Sumber Daya Air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No. 51 Tahun 1997, tentang Lingkungan Hidup; PP. No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kep. Pres No.123/2001, tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumber daya air.

Walaupun sudah banyak undang–undang atau peraturan yang diundangkan tentang pengelolaan sumber daya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air akan tetapi pada kenyataannya konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumber daya air pada danau dan waduk, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan malahan semakin rusak baik kuantitas maupun kualitas airnya.

Beberapa faktor yang menyebabkan kendala dalam melakukan pengelolaan sumber daya air antara lain:

a. Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS waduk, yaitu setiap instansi lebih mementingkan sektornya dari pada konservasinya.

b. Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air danau atau waduk sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

c. Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya danau/waduk untuk melakukan upaya konservasi yang optimal.

d. Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi.

e. Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS ataupun penduduk yang bermukim di sekitar danau/waduk.

Bab II

Waduk Darma

II.1 Lokasi

Waduk Darma mulai dibangun tahun 1958. Ada sekitar delapan desa yang ditenggelamkan untuk mewujudkan waduk ini. Airnya berasal dari beberapa sungai kecil di Kuningan, seperti Sungai Cinangka dan Sungai Cisalak. Waduk Darma terletak di sebelah barat daya dari kota Kuningan, tepatnya di desa Jagara- Kecamatan Darma dan pada lintasan jalan raya Cirebon-Kuningan-Ciamis. Menempati areal seluas ± 425 ha, dikelilingi oleh bukit dan lembah serta pemandangan yang indah dengan udara yang sejuk. Kapasitas genangan air maksimal ± 39.000.000 m3. Jarak obyek wisata ini adalah ± 12 km dari kota Kuningan dan dari ± 37 km dari kota Cirebon .

II.2 Fungsi

Air Waduk Darma digunakan untuk irigasi sawah sampai ke Kabupaten Cirebon. Sementara itu, sebagian lagi digunakan untuk kebutuhan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum di sekitar Cirebon. Waduk ini selain berfungsi sebagai penampungan air untuk pengairan dan perikanan juga dapat dijadikan sarana rekreasi dan olahraga. Apalagi diwaktu senja hari di Waduk Darma. Fasilitas yang tersedia :

• Areal kemping

• Kolam Renang Anak-anak

• Perahu Motor

• Cottage, dll

II.3 Pengelolaan di bidang Perikanan

Selain untuk irigasi dan wisata, waduk ini juga dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya perikanan. Pola yang diterapkan pun tidak jauh berbeda dengan petani ikan di Waduk Saguling dan Jatiluhur, yakni menggunakan pola japung (jaring terapung) maupun karamba. Meski sama-sama memanfaatkan air waduk, perikanan di Waduk Darma berbeda dengan perikanan di Saguling maupun Jatiluhur yang termasuk kategori waduk besar. Bagi Waduk Darma yang termasuk kategori waduk menengah, perubahan volume air sangat terasa di setiap musim.

Pada musim kemarau, dalam rentang waktu tidak sampai dua bulan, penyusutan volume air sudah terlihat dengan jelas. Sebaliknya saat musim hujan. Naiknya permukaan air waduk akibat pertambahan volume air, juga memengaruhi budi daya perikanan. Fluktuasi permukaan air itu berbanding lurus dengan tinggi rendahnya produksi ikan yang diperoleh para petani ikan. Bila permukaan air naik seperti pada musim hujan sekarang ini, produksi perikanan juga berpotensi naik. Sebaliknya, saat kemarau, produksi perikanan ikut turun. Saat kemarau, ketika air menyusut, dasar waduk bisa terlihat. Bahkan, ada yang kemudian menjadi jalan sementara yang bisa dilalui mobil dan kendaraan roda dua.

Para petani ikan kini tak bisa lagi menyandarkan hidupnya pada waduk itu akibat fluktuasi muka air waduk yang tidak menentu. Jangankan saat kemarau, ketika musim hujan pun tinggi permukaan air tak pernah menyentuh batas maksimum.

Dilihat dari sumber air, Waduk Darma hanya mengandalkan suplesi dari air hujan. Sungai-sungai kecil yang merupakan anak Sungai Cisanggarung juga ikut memasok, namun relatif kecil dan pasokannya juga sangat bergantung pada debit air hujan. Air bawah tanah pun cenderung terus menurun. Hal ini disebabkan berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan liar dan penggundulan hutan di daerah hulu di pegunungan Ciremai.

Pada akhirnya petani ikan di Waduk Darma yang harus ikut menanggung dampak buruk kerusakan lingkungan dan menurunnya daya dukung alam ini. Selain itu kondisi ini semakin di perburuk dengan terjadinya pendangkalan yang disebabkan endapan lumpur dan lumut yang tumbuh dari sisa pakan keramba jaring terapung.


Bab III

Penutup

III.1 Saran

Pemkab setempat harus menindak tegas aktivitas penebangan liar serta penggundulan hutan secara semena-mena di daerah tersebut dan melakukan pengerukan waduk secara berkala. Selain itu pemilik keramba jarring terapung harus melakukan pembersihan sisa pakan yang berasal dari jaring terapung yang dimiliki.

This entry was posted on Selasa, Agustus 04, 2009 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: